"Tuan muda kenapa?" tanya Langit saat mereka berjalan menuju gerbang rumah Biru. Tak tahu berapa hektar rumah ini hingga teras dengan gerbangnya saja jaraknya lumayan jauh. Langit pikir, buat apa rumah sebagus itu kalau gak bisa kelihatan dari gerbang?
Biru masih menendang-nendang batu kerikil yang ia temukan di samping teras rumah ketika turun.
"Kesal aku tuh, La. Dia mau ngusir silakan, mau hapus aku dari kartu keluarga juga gak peduli. Hanya satu, kasih kado pernikahan kenapa. Dari kecil aku ulang tahun saja gak pernah dirayain atau kasih kado. Aku nikah masih gini-gini saja," keluh Biru.
Ucapan pria itu masih terasa lucu untuk Langit. Ia memeluk erat Biru. "Kan Tuan Muda sudah dapat kado pernikahan."
"Kapan? Apa?" Biru bingung karena seingatnya, malah ia yang membagikan amplop untuk tamu undangan. Mana uangnya hasil kerja dua minggu sebagai penonton bayaran.
"Ini!" tunjuk Langit pada dirinya sendiri.
Wajah Biru merona. Senyumnya terkembang hingga matanya melengkung. "Aduh, istriku gemesin!" puji Biru sambil mencubit pelan pipi istrinya.
Langit mengangguk-angguk. Ia senang membuat suaminya tersenyum lagi. Sebenarnya Langit tak tahu apa yang sedang mengerubungi kepala Biru. Kisah kelam ibunya masih selalu menganggu. Bagaimana wanita itu ditembak di depan mata Biru sendiri. Aku harap kamu gak miliki nasib yang sama, pikir Biru. Tangannya mengusap pipi gadis itu.
"Tuan Muda mau makan? Ini sudah siang, loh."
Biru mengangguk. Ia pikir paling gak diberi camilan saat menyambangi rumah. Sayangnya dibandingkan menjamu, Angga malah lebih banyak marah dan menghina.
"Aku mau makan sate usus, La," pinta Biru. Ia menunduk. "Tapi aku kan belum kerja. Gak ada uang lagi di kantong, nih."
"Langit ada uang, kok. Nanti ganti saja kalau Tuan Muda sudah kerja," saran Langit.
Biru mengangguk pasrah. Padahal baru nikah, tapi sudah punya banyak hutang. Hidupku lebih ngeri daripada drama di FTV. Apalagi hutangnya sama istri sendiri, keluh Biru.
Setelah berjalan jauh dari teras rumah ke gerbang, mereka masih harus berjalan ke gerbang komplek. "Kenapa angkot gak mau masuk sini, sih?" keluh Biru.
"Ya kali, siapa yang naik," jawab Langit.
Semua yang tinggal di komplek ini pasti punya mobil. Bahkan lebih dari satu. Ngapain juga mereka desek-desekan dan panas-panasan naik angkot. Biru pengecualian, dia sudah angkat kaki sebagai penghuni komplek ini.
Kaki Biru rasanya pegal. Meski rumahnya luas sampai ia harus banyak berjalan hanya untuk sarapan ke ruang makan, tetap saja banyak jalan menyiksa kaki. Angkot hijau jurusan Ledeng-Cicaheum itu melaju membawa pasangan itu turun.
Ada gerobak tempat jual aneka lauk yang sudah dibumbui dan tinggal goreng saja. Bisa digoreng di rumah atau di tempat. "Ah, gila! Baunya mantap," puji Biru. Matanya melongo melihat tumpukan ayam sampai daging sapi bumbu termasuk jeroan.
"Makan ini setiap hari gak bagus juga," nasehat Langit.
"Ya sudah, aku tinggal makan kamu saja setiap hari," canda Biru.
Langit mencubit pinggang suaminya dengan gemas. Biru berteriak dan memancing penjual gorengan tertawa. Ia kenal dengan Langit karena diundang saat acara nikahan.
"Mentang-mentang pengantin baru, masih romantis manja-manja," puji pedagang itu.
Wajah Langit merona, ia pura-pura memilih sate usus untuk suaminya. Padahal meski dipilih pun tetap saja sama semua usus ayam tanpa bonus daging sapi.
"Jangan banyak-banyak. Nanti kena kolesterol lama punya momongan," nasehat ibu pemilik gerobak.
"Bu, jangan bikin dagangan sendiri gak laku, donk. Urusan anak itu tergantung niat, rajin sama keajaiban. Bukan karena sate usus," timpal Biru. Ibu pemilik gerobak memukul lengannya pelan.
"Suami kamu tuh lucu, La," pujinya.
"Plus ganteng," tambah Biru sendiri.
"Terus gimana? Sudah rajin bikinnya?" Kali ini bapak pemilik gerobak yang bertanya.
"Mulai saja belum, Pak. Nikahnya baru dua hari, kan?" jawab Biru.
Langit memberikan piring ususnya agar digoreng oleh pemilik gerobak. "Laki-laki hebat itu harusnya nyerang di hari pertama. Masa dua hari masih belum mulai?" Bapak pemilik gerobak heran.
Biru terkekeh. "Iya itu, belajar dulu jalan yang lurus dan benar. Takutnya salah masukin ke gawang orang," celetuk Biru. Tuan muda ini apa-apaan, sih? Kan Langit malu, pikir Langit.
Langit memukul suaminya lagi. Lama-lama di sini wajahnya bisa lebih panas daripada pantat panci tetangga sebelah. Malunya juga lebih malu daripada gak sengaja kentut di dalam Damri.
"Malam ini mau nyoba percobaan pertama. Doain lancar dan jangan ngintip! Dosa, adegan panas," celetuk Biru lagi. Sebelum ia menjadi bulan-bulanan Langit, ia lekas berlari ke belakang gerobak.
"Tuan Muda daripada bicara ngalor ngidul gitu, mendingan pulang jagain ibu, gih!" omel Langit. Biru menggeleng.
"Apa sate ususnya gak jadi saja?" ancam Langit.
"Aku pulang sekarang jagain ibu. Jangan lupa sambal sama kol gorengnya, ya?" pinta Biru sambil berjalan masuk ke dalam gang rumah Langit yang tak jauh dari gerobak.
🌱🌱🌱
KAMU SEDANG MEMBACA
Bride Of The Heir (Mr. Tajir Jatuh Cinta)
RomanceIa harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga. Hingga suatu hari seorang peramal mengatakan, ia akan menjadi seorang ratu setelah melewati kematiannya sendiri. Nyatanya, ia bertemu dengan putra kedua pimpinan Bamantara Grouph, Biru Bamantar...