—Terkadang sesuatu yang dipaksakan akan berakhir keburukan. Nggak peduli jika dibalik semua itu ada makna kemudian.—
----
Benda beroda empat itu menepi di trotoar jalan setelah empat jam melaju dan berbaur oleh pengendara lain. Tiap-tiap mobil seperti barisan semut dengan aneka warna. Bergerak dengan kecepatan berbeda-beda tergantung mood atau permintaan. Sesekali terjadi adegan salip-salipan karena buru-buru akan urusan mengabaikan keselamatan.
Kalau sudah begitu, siap-siap saja klakson akan berbaur dengan ocehan mulut-mulut yang terkena salip atau terkaget-kaget. Ketimbang mengikuti aturan Tuhan, lebih banyak memilih umpatan nggak berbobot sebagai pelampiasan. Lalu, jika sudah begitu, siapa yang patut disalahkan?
Sekilas seturunnya Maria, ia menatap bentangan pemandangan kota yang masih sangat sibuk di pukul dua puluh dua ke atas. Lalu beralih menatap langit malam berawan, melihat bagaimana rembulan menyembul di baliknya. Seolah malu-malu untuk muncul. Disaksikan oleh sejuta pasang mata malam itu.
Setelah puas, ia beralih pandang ke bawah air ketika sampai di pembatas jembatan. Sejenak, air itu seolah membawa kedamaian, menentramkan tatapan-tatapan yang berani memandang. Mencetuskan pemikiran tentang bagaimana rasanya menyentuh air di dalam sana? Apakah dingin? Atau ada rasa lain yang menggetarkan jiwa? Menyentuh relung sampai akhirnya menenggelamkan pemikiran kusut tentang segala hal? Atau hambar seperti yang dirasakan Maria selama ini?
Angin malam berembus kencang. Segalanya terasa dingin hingga menusuk ke tulang. Mengigilkan tubuh dan menggerretakkan geligi. Memucatnya kulit serta membekukkan hati. Maria berpikir, jika dirinya terjung ke bawah, apa akan bertemu dengan anaknya? Sudah lama Athala menunggu kedatangannya bukan? Jadi untuk apa lagi menunggu hal-hal nggak pasti jika kepastian sudah ada di depan mata? Atau hanya ditelan air tanpa bertemu siapa-siapa kecuali kematian?
Sejenak, Maria mengusap cairan sialan yang menetes. Kembali, pikiran-pikiran aneh merasuk ke dalam otak. Membuat kepalanya berputar karena mencoba memegang kendali. Menyupiri tubuh Maria dan menuntunnya ke suatu tempat yang selama ini ia rindukan. Tempat di mana nggak ada lagi yang namanya penyesalan, kesedihan, dan tertinggal. Sebuah tempat di mana hanya ada dia dan Athala, puteri tercintanya.
''Maafkan Mama yang datang terlambat, Nak.''
Bibir Maria bergetar, suara parau akibat tangisan nggak bisa lagi terhindari. Sama seperti dulu, hatinya sakit luar biasa.
''Maafkan Mama, Mama pantas dihukum. Mama nggak becus mengurus kamu. Mama egois, mama salah. Hiks ....''
Lutut Maria lemas, sendi-sendinya seolah kehilangan fungsi. Tulang-tulang penegak serasa nggak ada arti. Tubuhnya lunglay, memegang pembatas jembatan erat sebagai tumpuan. Maria histeris, jatuh terduduk kemudian sambil terus terisak. Membuat si supir pribadi khawatir, tetapi nggak bisa melakukan banyak hal karena itu perintah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penitisan!
Fantasy[ Masuk daftar pendek Watty's 2021 ] ''Percayahkah kalian, jika kukatakan bahwa kematian adalah jawaban yang diberikan oleh Tuhan sebagai tahapan yang pasti dialami semua makhluk hidup. Jika iya, berarti selamat, karena kalian sudah menyadari jika k...