{ 04-61: Uang: Bahkan satu lembarnya bisa membeli nyawa. }

33 5 0
                                    

—Uang memang nggak menjadi tujuan hidup, tapi dengan uang hidup yang ingin dituju akan terasa mudah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—Uang memang nggak menjadi tujuan hidup, tapi dengan uang hidup yang ingin dituju akan terasa mudah. Uang bukanlah Tuhan, tapi uang bisa berkuasa penuh atas kehidupan.—

----

Di dalam kelas salah satu ruang, sudah ada segerombol siswi-siswi yang bercakap-cakap. Dari semuanya, tampak satu siswi bergumam, ''Coba lihat ini.'' Ia kemudian memperlihatkan smartphonennya pada teman-teman.

Ia melanjutkan, ''Arum udah kembali lagi ke sekolah. Sekarang dia lagi menuju ke sini.''

Nggak lama, gosip itu pun merebak seisi kelas dan semua berbondong-bondong ingin menyaksikan. Kini mereka terbagi antara pintu masuk dan jendela. Bergumul menunggu Arum benar-benar menampakkan si batang hidung.

''Anak orang kayak emang beda. Lihat aja dengan tanpa malu, dia muncul setelah nyaris bunuh anak orang.''

Siswi dengan rambut dikepang yang berdiri di dekat pintu, melirik sekilas satu teman kelas yang dimaksud. Si lawan bicara mengangguk, mengerti kode itu.

Ia menjawab, ''Ya, udah sih. Remahan, kek, kita bisa apa. Di terima di sekolah ini aja udah syukur banget. Mending nggak usah cari gara-gara deh kalau mau selamat.''

''Bener banget, salah-salah kita yang di black list. Tau sendiri anak-anak bermasalah yang dari sekolah ini nggak akan di terima di mana pun. Amit-amit cabang kayu. Mikirnya aja gue dah merinding. Cari aman aja udah paling cocok.''

''Oh, ya. Tadi di grup obrolan pada rame ngomongin pesan yang dikirim Alenta ke anak-anak yang pernah berurusan dengan Arum.''

''Soal?''

''Nggak tahu. Lihat aja entar. Perasaan gue mengatakan kalau bentar lagi bakal ada peperangan.''

''Gila, lo, ah!''

''Lihat aja nanti.''

Sisi lain ruang itu, gadis berambut pendek yang tadi memperlihatkan si ponsel menatap dua teman yang berdiri tepat di samping kirinya. Hanya mereka bertiga yang nggak ikut-ikutan, memilih tetap duduk dengan tenang. Gadis dengan sweater kuning melipat tangan, sedang berjaket abu-abu itu meletakkan tangannya dalam saku.

Ia bertanya kepada salah satu dari mereka, ''Yang tadi nggak usah lu dengerin. Nggak usah di ambil hati, oke?''

''Nggak kok. Santai aja.''

''Tapi lu beneran udah nggak papa 'kan? Kalau inget kejadian itu, gue masih takut banget sampai-sampai kebawa mimpi.''

Gadis sebelahnya menanggapi, ''Gue juga. Gara-gara Arum, tidur gue nggak pernah nyenyak. Saking nggak tahannya, gue sampai mengkomsumsi obat penenang.''

Teman yang dimaksud tersenyum lebar, tetapi di matanya menyiratkan ketakutan dan kemarahan di waktu bersamaan. Dia adalah gadis yang pernah menjadi korban Arum melihat dari bekas jahitan pada dahi hanya karena perkara anonim sekolah. 

Si Penitisan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang