—Terkadang perkataan itu menghancurkan perlahan-lahan. Mau seerat apa pun hubungan, nyatanya akan kalah dengan cibiran.—
----
Semua berawal pada suatu sore di bulannya musim penghujan, Februari empat tahun lalu. Hawa dingin embusan angin dari timur kota bercampur dengan AC, sama sekali nggak membuat Maria meringkuk di bawah selimut hangat hari itu.
Malah, keringatnya begitu jelas terlihat di kulit putih pucatnya yang masih kencang bak ABG untuk ukuran usia tiga puluh enam tahun. Ia duduk di atas sofa ruang tamu harap-harap cemas, matanya bergerak awas menyusuri setiap baris kalimat dari majala fassion di tangan. Walau sekilas tampak sedang membaca, nyatanya Maria hanya mencoba memenangkan diri serta pikirannya yang sudah kalang kusut.
Memang salah satu cara agar nggak terlalu stress adalah melakukan pendikstrasian, dan membaca adalah pilihan Maria. Entahlah, sejak insiden pertengkaran dengan anak pertamanya—Athala. Selama itu pula puteri sulungnya belum pulang ke rumah atau sekadar membalas semua pesan, telepon, atau apa pun yang Maria kirimkan padanya.
Kekalutannya bertambah ketika para ajudan, polisi, bahkan sampai detektif nggak kunjung membuahkan hasil. Geram, kecewa, dan juga sedih berpadu jadi satu. Di tambah lagi Arum terus-terusan menanyakan keberadaan kakak tersayangnya yang nggak kunjung balik.
Maria yang saat itu baru pulang bekerja semakin tersulut emosinya ketika mendengar penyataan Athala kalau ia sudah nggak mau dan lelah jika harus terus-terusan tunduk dan patuh terhadap perintah mamanya. Ia berdalih, sudah benar-benar muak dengan apa yang dilakukan Maria terhadapnya. Maria yang saat itu dalam keadaan capek dan penat merespons, ''Lalu mau kamu apa, Athala?''
Athala menjawab dengan nada yang nggak kalah tinggi. "Mauku, apa Athala nggak salah dengar? Sejak kapan Mama jadi peduli dengan kemauan kami? Bukannya Mama hanya peduli dengan obsesi Mama yang ingin menjadikan anak-anaknya sebagai boneka penerus bakat Mama yang gila itu?''
"Jaga bicaramu, Athala. Mama sudah capek dengar kamu membantah terus. Apa salahnya kamu sekali-kali menjadi anak penurut seperti adik kamu itu? Kenapa kamu selalu membangkan semua yang mama katakan. Mama lakukan ini juga untuk kebaikan kamu, mengerti?''
Maria mendengkus setelah menghardik anaknya, kemudian memijat pelipisnya yang berat itu. Sedangkan Athala masih memasang wajah peperangan dengan mamanya.
"Kebaikanku?'' Athala tersenyum sinis. ''ini bukan untuk kebaikan kami, melainkan Mama. Lagi pula jangan bawa-bawa Arum, Ma. Arum akan tetap jadi Arum dan Athala akan memastikan itu. Cukup Athala saja yang mama jadikan boneka pemuas ambisi, dipamerkan kepada teman-teman Mama lalu disanjung dan dipuja walau semua itu hanya omong kosong belaka. Athala tahu, Ma. Mama hanya ingin membuktikan kecongkakan Mama bukan? Kalau cucu dari Adinata memang benar-benar berbakat tiada tandingan, iya, 'kan?''
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penitisan!
Fantasia[ Masuk daftar pendek Watty's 2021 ] ''Percayahkah kalian, jika kukatakan bahwa kematian adalah jawaban yang diberikan oleh Tuhan sebagai tahapan yang pasti dialami semua makhluk hidup. Jika iya, berarti selamat, karena kalian sudah menyadari jika k...