—Berpikir semua baik-baik saja nyatanya semua tindakan akan ada penyesalan pada akhirnya.—
----
Nasi sudah jadi bubur, mustahil jika mau mengembalikannya menjadi nasi. Begitu pun dengan kaca, ketika sudah berupa pecahan, maka mustahil untuk menyatukannya kembali utuh sekalipun dilumuri bermilyar-milyar perekat, tetap nggak akan persis seperti porsi dulu. Itu sudah hukum alam, nggak bisa untuk dilanggar.
Berat, kedua kaki Athala begitu sulit sekalipun hanya sekadar diseret. Hatinya benar-benar sakit harus meninggalkan orang-orang tercintanya, tetapi jika nggak berlaku demikian, maka cita-cita yang ia impikan akan kandas dan juga harus selalu menjadi bayang-bayang sang mama. Mengerikan jika mengingat bagaimana dirinya selama ini diperlakukan seperti boneka.
Kembali, keguguhan hatinya lagi-lagi meruntuh ketika beribu-ribu kebencian menjadi luluh dengan hanya satu nama: Arum, adik yang paling ia sayang di dunia. Sesaat, setelah si tangan menghapus cairan sialan di wajah, Athala membalikkan badan.
Seketika, tangisnya bertambah kencang melihat Arum sudah terduduk di depan pintu rumah bak neraka itu. Melihat sang adik meringkuk memeluk lutut jelas-jelas membuat hatinya seperti dihujam beribu peluru. Hingga, kemudian Athala kembali ke arah adiknya berada.
Gadis berambut hitam sepunggung itu berlari sekecang mungkin, ia ingin merengkuh Arum kuat dan menenangkan adik satu-satunya itu. Ia nggak mau apa-apa lagi selain melihat adiknya tersenyum dan bisa melepaskan kepergian Athala dengan sabar.
Kini, kakak beradik itu saling berpelukan. Erat, seakan-akan nggak mau melepaskan. Tangisan mereka pecah terisak-pinak. Siapa juga yang mau terlibat dalam keadaan ini. Sungguh, Athala nggak mau atau siapa pun juga. Namun, karena keadaan, ia terpaksan menyakiti adiknya itu.
''Maafkan kakak, Dek. Maafkan kakak,'' ucapnya berulang-ulang yang terdengar seperti racauan.
Siapa juga yang bisa berbicara lancar jika sedang menangis nggak karu-karuan begitu? Bukannya mendramatisir, tetapi memang begitulah adanya. Sedangkan yang dimaksud nggak kalah kencang, sesekali menggeleng dan memukul punggung kakaknya agar nggak pergi.
''Hiks! Kakak nggak usah pergi. Di sini aja sama Arum. Hiks!''
''Jangan cengeng, Dek. Kita akan tetap bersama selamanya. Kakak akan selalu ada setiap kali kamu butuh. Kakak nggak akan tinggalin kamu, kakak janji.''
Janji katanya? Bagaimana bisa ia berikrar pada sang adik kalau ia saja nggak yakin masih bisa hidup atau enggak?
''Kakak, bohong. Kakak nggak sayang Arum. Mana bisa Kakak jagain aku kalau Kakak akan pergi jauh. Dasar pembohong! Arum benci pembohong!'' hardik Arum masih memeluk Athala.
Athala mengusap rambut panjang sang adik mencoba menenangkan sekaligus kembali meneguhkan hati. Setelah mati-matian menahan tangis, ia pun melepas pelukan Arum padanya. Walau awalnya susah, pelukan itu pun terlepas juga.
Pertahan Athala seolah kembali runtuh mendapati wajah adiknya semerah tomat, hidung di penuhi cairan yang sudah menyatu dengan air mata. Cairan itu pula menempel di kemeja yang ia pakai, bahkan, ingusnya pun ada di baju sang adik. Tentu, kedua wajah kakak beradik itu berantakan sekali. Sesaat, setalah menghapus cairan asin di kedua pipi sang adik, Athala kemudian memperbaiki bando sekaligus rambut Arum.
Serak, ia berkata, ''Kakak enggak akan kembali Rum, sebelum mama berubah. Kakak enggak akan sudih menginjakan kaki ke sini lagi dan menatap wajah mama yang hanya mementingkan ambisi sampai membuat hatinya sekeras batu.''
Setelah mengucapkan itu, Arum melirik sekilas wanita yang dimaksud sang kakak. Entah kenapa, Athala seolah menangkap aura kebencian di mata sang adik. Jelas, kedua mata berbulu lentik itu memancarkan rona marah bercampur kecewa.
Merasakan aura itu, Athala kembali bersua, ''Jangan benci sama mama, Dek. Jangan sakiti mama seperti yang kakak lakukan sekarang. Kepergian kakak bukan karena mama. Maafkan kakak, tapi apa pun itu, kakak harap kamu enggak akan menjadi boneka pengganti setelah kepergian kakak. Kakak enggak mau kamu sampai melakukan apa yang kamu enggak ingin lakukan, Rum. Kakak mau kamu bisa menciptakan sendiri peluang itu agar apa yang kamu inginkan tercapai. Hanya itu mau kakak. Jaga dirimu baik-baik, ya, Dek. Kakak sayang sama kamu.''
Cup!
Ciuman hangat itu tertahan beberapa menit di puncak kepala Arum. Gadis tiga belas tahun itu menutup mata rapat merasakan luapan kasih sayang sang kakak tertuju padanya. Seperti biasa, ia tahu kalau kakaknya menyayangi serta melindungi dirinya dari apa pun juga. Namun, itu semua akan berakhir seiring kepergian Athala hari ini.
Setelahnya, Athala bangkit dan berlalu pergi. Kali ini, ia nggak mau pertahannya runtuh lagi walau tangannya sudah di pegang erat oleh Arum. Enggak, ia nggak mau kalah berperang dengan egonya, hingga terpaksa, ia menepis tangan Arum kemudian menjauh.
Athala berbisik pada angin, Maafkan Ata, Ma, Rum. Maafkan keegoisan Ata, tapi walau begitu, Mama lebih egois daripada Ata. Selamat tinggal dan sampai bertemu dikemudian hari, itu pun jika Ata masih berpijak di bumi.
Arum melongos, menatap punggung Athala nanar lalu berbalik menatap mamanya. Kemudian, ia beteriak yang masih bisa di dengar oleh Athala di ujung sana walau samar terendap pada kerumunan orang.
"Mama jahat! Kenapa Mama biarin Kak Ata pergi! Arght ... Arum benci sama Mama. Arum enggak mau ketemu sama Mama lagi. Pokoknya Arum benci, benci, benci sama Mama.'' Kemudian berlari masuk ke kamarnya mengurung diri.
Lalu, semenjak saat itu, Arum berjanji pada diri sendiri untuk nggak mau lagi menjadi gadis penurut pada siapa pun termasuk kepada mama. Ia benar-benar berubah menjadi gadis pemberontak dan keras kepala. Ya, arum benar-benar berubah menjadi pribadi yang jauh berbeda daripada dulu.
Di mata Arum, kini hanya ada kebencian untuk Maria, nggak ada lagi pancaran kasih sayang seperti dulu. Maria yang bersalah mau nggak mau harus menerima keadaan anak bungsunya itu sampai sekarang.
MAMA ADALAH WANITA YANG CONGKAK DAN BERAMBISI. HINGGA KARENA ITU PULA MENJADIKAN HATI MAMA SEKERAS BATU!
Kalimat terakhir Athala seolah-olah nggak mau hilang. Begitu jelas dentumannya sampai-sampai membuat sesak telinga Maria walau sudah bertahun-tahun lamanya.
Jelas, suara serak gadis di pelukan itu menguar, melibas kejadian kelam menyakitkan Maria bertahun-tahun lalu. Pelukan Maria melonggar, menatap kedua mata anaknya kini. Di mata itu, Maria sama sekali nggak bisa merasakan apa-apa, kedua netra cantik tersebut seolah-olah asing. Walau selama ini Arum menatapnya penuh benci, tetapi Maria masih bisa mengenal tatapan itu. Namun, sekarang, entah kenapa ia seolah-olah menatap orang lain.
''Ma ..,''
''Ma ..,''
Andyra kembali bersua, ia sebenarnya nggak tahu kenapa sampai mengeluarkan kata-kata itu pada wanita yang nggak ia kenal sebelumnya. Terlebih, ia cukup heran ketika Athala juga menyebutkan kata mama pada Maria. Sedang Athala yang masih di ruang itu, menatap Maria lekat. Sesaat, setelah menghela napas agar nggak terlalu sesak, ia membatin, Maafkan Ata, Ma. Ata menyesal.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penitisan!
Fantasy[ Masuk daftar pendek Watty's 2021 ] ''Percayahkah kalian, jika kukatakan bahwa kematian adalah jawaban yang diberikan oleh Tuhan sebagai tahapan yang pasti dialami semua makhluk hidup. Jika iya, berarti selamat, karena kalian sudah menyadari jika k...