{ 02-30: Bukti: Tuduhan nggak mendasar.}

37 5 0
                                    

—Tuduhan nggak mendasar memang nggak pernah menguntungkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—Tuduhan nggak mendasar memang nggak pernah menguntungkan. Awalnya memberi kesenangan karena pelampiasan, tetapi setelahnya penyesalan pun nggak bisa dihindarkan.—

----

Ruang kepala sekolah terpisah dengan ruang para guru. Tempat itu terbilang cukup luas, tiga buah sofa tertata rapi di bagian tengah. Sisi terjauh dari pintu masuk, sudah ada meja persegi panjang yang di atasnya terdapat beberapa lembar map, komputer, vas bunga, telepon, papan nama yang bertuliskan Gandi, dan juga segelas minuman putih.

Dinding-dindingnya yang dicat cokelat emas terpajang beberapa foto kepala sekolah yang menjabat pertama sampai dengan Pak Gandi sekarang. Jika dihitung, ada sekitar sepuluh foto di sana.

Dua dari foto itu Ayuna kenal. Pak Gandi yang menjabat sekarang, dan Pak Faisal si Wakil Ketua Yayasan yang tahun ini akan maju dalam pemilihan Gubernur, ayah dari Alenta si mantan sahabat kecil.

Selain lukisan, di dinding bagian belakang kursi, terpajang sebuah lukisan tema pemandangan. Di kedua sisi pintu, ada dua pot besar tanaman ruang. Selebihnya beberapa lemari yang penuh akan arsip, foto murid berprestasi, piagam, serta sertifikat penghargaan yang dimiliki oleh sekolah.

Sebelum masuk, Ayuna lebih dulu diberi wejangan oleh Freya untuk nggak melakukan apa-apa. Karena mereka nggak bisa masuk, jadilah Freya dan Sania menunggu harap-harap cemas di luar, sedangkan Lian kembali mengajar. Memang, nggak sembarang orang yang bisa masuk ke ruang kepsek. Harus ada kepentingan baru bisa ke sana, jika enggak, berarti nggak boleh masuk.

Begitulah SMA Jias, sekolah itu sangat menjunjung tinggi peraturan. Namun, walau begitu, masih banyak murid-murid yang melanggar. Asal nggak ketahuan, maka merdekalah mereka. Soal peraturan itu juga mengingatkan Ayuna pada ingatan milik Freya saat itu. 

''Permisi,'' ucap Ayuna mencoba sesopan mungkin.

Ia sedikit mengintip ketika pintu berhasil dibuka. Terlihat satu murid lain terduduk manis di salah satu sofa ruang itu. Dari cara duduknya, ia tampak memiliki hubungan lebih dari seorang murid dan kepala sekolah. Benar-benar seperti rumah sendiri. Tanpa menghiraukan Ayuna, ia terfokus pada sebuah tablet di tangan.

''Masuk.''

Suara tegas milik Pak Gandi terasa nyanyian merdu di telinga dan yang menjadi pertanyaan adalah siapa gadis yang masih duduk itu?

''Bapak memanggil saya?''

Saya? Sejak kapan Ayuna sesopan itu selain kepada neneknya? Entahlah, biarkan saja dia.

Pak Gandi yang sedari tadi tampak membaca sesuatu, teralihkan fokusnya ketika Ayuna sudah berdiri tepat di depan. Namun, lebih lanjut terlibat dengan Ayuna, ia lebih dulu menyuruh gadis yang duduk tadi untuk keluar. Nggak banyak bicara, ia melenggang begitu saja.

''Duduk,'' katanya, ia memandang Ayuna lekat dibalik kacamata berframe hitamnya.

Jika dilihat sekilas, wajah Pak Gandi sedikit berisi, tetapi tegas. Sorot matanya tajam bak Elang. Rambutnya agak rontok mengakibatkan kebotakan dini di bagian depan kepala. Alisnya memanjang tebal seperti ulat bulu. Hidung mancung, tetapi agak bulat. Tahu 'kan maksudnya? Ukuran tubuhnya nggak terlalu tinggi dan nggak juga pendek. Seimbanglah.

Si Penitisan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang