{ 05-90: Si Penitisan: Sebuah kisah panjang tentang kematian. }

22 4 0
                                    

-Lebih tinggi dari langit, lebih terang dari cahaya, dan lebih cepat dari angin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Lebih tinggi dari langit, lebih terang dari cahaya, dan lebih cepat dari angin. Kamu adalah sesuatu yang paling berharga dan sebuah keajaiban nyata.-

----

''Saya ingin untuk bisa bertemu dengan keluarga saya lewat mimpi. Saya ingin mengatakan kalau saya baik-baik saja dan jangan pernah menyesal untuk semuanya. Kepergian saya bukan untuk membuat mereka tambah sedih, tetapi menjadi awal agar mereka hidup lebih baik dan menjaga kesehatan. Saya ingin mereka hidup bahagia dengan melepas kepergian saya.''

Mendengar itu, Athala mengabulkan permintaan pertama Andyra. Lewat mimpi Andyra bertemu dengan Rion dan juga Pak Keenan. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama-sama.

Di padang ilalang dekat danau, Rion membentangkan seprai dan membangun tenda bersama dengan Keenan. Sedang Andyra mengeluarkan beberapa bekal yang dibawa dari dalam keranjang lalu mengaturnya dengan rapi. Itu menjadi hari terindah yang pernah ada, walau singkat, tetapi Andyra sangat bersyukur akan itu.

Andyra memotong buah dan menyiapkan makanan lain, Rion menyalakan api pada pemanggangan dan Keenan membakar daging setelahnya. Di bawah pohon rindang dan sejuk, mereka bertiga menghabiskan waktu bercakap-cakap tentang segala hal. Entah kenapa mereka bertiga seolah nggak pernah mau melewatkan waktu begitu saja dengan tertidur walau tubuh dipenuhi lelah yang teramat.

Keenan masih terlihat sangat tampan walau hanya mengenakan kaus berbalut jaket dan topi sebagai penghangat. Tubuhnya juga lebih terlihat segar dan jauh dari kata menyedihkan seperti saat berada di rumah sakit menjaga Andyra. Ayahnya tampan dan itu membuat Andyra tersenyum senang. Ia juga jauh telihat lebih muda dari usianya yang menginjak kepala empat.

''Ayah ...''

Keenan menoleh. ''Apa, Sayang. Ayah lagi sibuk memanggang daging kesukaan kamu. Jangan terlalu matang, 'kan?''

Andyra mengangguk, ia kemudian berdiri dan mendekat ke arah si ayah. Perlahan, ia memeluk tubuh tegap Keenan dari belakang. Keenan tersenyum melihat anak semata wayangnya begitu manja.

''Kamu kenapa, si? Hati-hati panas.''

''Nggap papa. Dyra cuman pengen meluk Ayah aja.''

''Iya, tahu, tapi ini bahaya Sayang. Ayah lagi manggang, takut kamu kepanasan. Ayah juga bau asap, Nak.''

''Nggak papa. Bagi Dyra, Ayah tetap tampan dan wangi. Bahkan Dyra sempat iri karena Ayah nggak pernah bau.''

Mendengar itu, Keenan meletakkan penjepit daging, membuka kaus tangan lalu menghadap ke anaknya. Ia membalas pelukan Andyra hangat.

''Kenapa mesti iri? Anak ayah juga sudah cantik dari dulu. Cantiknya sama kaya Bunda. Bunda di surga pasti senang punya anak seperti Dyra. Ayah saja bangga ada kamu di hidup ayah, Nak. Kamu semakin besar, semakin mirip sama Bundamu. Kamu cantik dan menawan.''

Si Penitisan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang