—Momen terbahagia adalah ketika nggak ada satu pun kata terucap, tetapi hanya lewat tatapan akhirnya tertawa lepas. Berjalan berdampingan, bukan di belakang, atau bahkan di depan. Rahasia kemampuan adalah keinginan. Selagi masih ada harapan, semua akan baik-baik saja. Maka jangan pernah memulai untuk menjadi berhenti.—
----
Sepertinya hujan turun menyertai Ayuna. Hatinya yang terbakar, kian meluap-luap. Pepatah yang mengatakan kalau berjalan di tengah hujan saat marah akan meredam semuanya nyatanya nggak berlaku pada Ayuna. Malah, amarah itu kian menjadi-jadi. Padahal ia sudah berjanji untuk memulai dari awal. Namun, masih saja ia begitu sulit untuk menghadapinya.
Langkah Ayuna kian lama makin memelan, hingga memilih duduk berselonjor di trotoar jalan. Ia nggak peduli jika sekarang menjadi tontonan orang-orang yang berjalan, berlari, atau mereka yang mampir berteduh di emperan toko.
Sekali lagi, Ayuna bukanlah sosok yang memedulikan sekitar. Memilih abai dan fokus pada diri sendiri. Mungkin sifat itulah yang membuat semuanya jadi kacau. Ia terluka, dadanya sesak, Ayuna ingin menangis, tetapi nggak ada air mata yang keluar satu pun.
Pernah dengar tentang kadar kekecewaan? Bisa dibilang Ayuna berada di level paling atas sampai membuat hatinya sebeku es jika menyangkut Milly.
Selama ini, ia sudah mengubur kenangan itu tanpa tahu jika di sana masih ada orang yang nggak mau melupakan. Bukan nggak tahu, lebih tepat jika mengatakan kalau Ayuna nggak mau peduli. Ayuna sudah berlatih bertahun-tahun. Hasil dari proses itu membentuknya seperti sekarang. Ayuna terlalu dingin dan menutup diri, terlalu sibuk menyembukan patah hatinya sendiri dan melupakan kalau bukan hanya dirinya yang menderita, tetapi ada orang lain juga.
Saat ini ia ingin duduk sebentar. Berjalan lama dan berlari membuat kakinya seperti patah. Terlebih, ia baru saja menyaksikan sumber penderitaan itu, membuat kepalanya dipenuhi oleh sesak akan kebakaran. Lagi pula, kehujanan sedetik saja nggak akan membuatnya sakit.
Akhir dari pengintaian Ayuna adalah TPU. Di sana, Alenta berdiri dengan sebuket bunga di tangan. Walau ragu, Ayuna nggak punya pilihan selain masuk ke tempat terkutuk itu. Kelebihan yang ia punya membuatnya membenci tempat tersebut. Sebuah tempat di mana para hantu memperhatikan Ayuna lekat dengan berbagai jenis rupa.
Kini Ayuna menatap Alenta di balik pohon besar. Di sampingnya sudah ada tiga sosok hantu yang masih menatapnya diam.
Sekitar tiga puluh menitan, Alenta pun meninggalkan tempat itu. Namun, bukannya ikutan pergi, Ayuna malah mendekat ingin tahu makam siapa yang gadis angkuh itu kunjungi. Hingga kakinya gemetar saat mendapati nama yang tertera di nisan tersebut, membuatnya berlari menjauh seketika itu juga.
Bibir kering Alenta tertarik naik, ia tersenyum, tetapi bukan maksud yang sebenarnya melihat bagaimana Ayuna kabur seperti biasa.
Kesedihan kian mencuat, terpancang di wajah Alenta ketika ia berkata, ''Akhirnya dia datang juga, Mil. Akhirnya si pengecut itu kembali lagi ... hiks!''
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penitisan!
Fantasy[ Masuk daftar pendek Watty's 2021 ] ''Percayahkah kalian, jika kukatakan bahwa kematian adalah jawaban yang diberikan oleh Tuhan sebagai tahapan yang pasti dialami semua makhluk hidup. Jika iya, berarti selamat, karena kalian sudah menyadari jika k...