{ 01-53: Terjamah: Tentang senyum yang sama. }

27 5 0
                                    

—Di tempat tinggi nggak berpenghuni, jatuh di antara langit yang terbelah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—Di tempat tinggi nggak berpenghuni, jatuh di antara langit yang terbelah. Setelah berjalan terus menerus, istirahatlah sejenak. Lalu perasaan bahwa mereka yang bersama dari awal, akan nggak sejalan kemudian. Kemudian bertanya saat pertemuan menyambut hari, akankah kita punya senyum berbeda dari sebelum ini?—

-----

''Dengan mengatakan itu, Mama terlihat menyedihkan. Benar kata mereka kalau Mama emang egois. Aku awalnya marah karena mereka mengatai Mama yang enggak-enggak, tapi melihat sendiri bagaimana Mama bersikap membuatku sadar kalau aku nggak pernah berarti sama sekali. Mama hanya peduli dengan segala sesuatu yang sempurna, membuatku selalu menjadi perfek, dan marah ketika semua nggak sesuai dengan kemauan Mama.''

Setelah mengatakan itu, ia bangkit dari peraduan, tetapi nyatanya Maria menghentikan pergerakan gadis itu dan menyuruhnya untuk kembali duduk.

''Siapa yang mengajarimu jadi pembangkan, Athala? Mama begini demi kebaikan kamu. Apa salahnya jika mama ingin melihat kamu sukses? Kamu bilang, mama egois? Iya, mama emang egois, mama emang selalu memaksa kamu dan adik kamu harus sesuai dengan kemauan mama. Mama tahu itu, tapi kamu masih terlalu muda untuk tahu betapa mengerikannya dunia luar. Mama seperti ini agar kamu kuat, agar kamu nggak tenggelam, dan terlupakan. Mama ingin kamu sukses dan membungkam semuanya.''

Athala mengangkat wajah. Menatap sang mama dengan ekpresi dingin. ''Tapi bukan begini caranya, Ma. Kami bisa sukses dengan cara kami sendiri. Kami nggak butuh bantuan Mama atau siapa pun. Lagipula, Mama sendiri yang bilang kalau kami nggak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan, itu artinya kami harus menciptakannya sendiri agar kemauan kami tercapai, dan kemauan Athala adalah memilih jalan sendiri. Adek pun pasti punya keinginan yang lain.''

''Kamu mulai berani sama mama?''

''Bukan begitu, Ma. Hanya saja aku capek. Itu saja. Dan nggak menutup kemungkinan kalau Arum juga merasakan hal sama. Kami manusia dan bukan Robot, wajar kalau kami merasa lelah.''

''Lelah?'' Maria meninggikan suara. ''bagaimana mungkin ... selama ini kamu melakukannya dengan baik, bagaimana bisa kamu mengatakan itu sekarang? Jika kamu seperti ini, tak ada yang akan menerima kamu. Mama mati-matian membangun reputasi kamu agar kamu diterima. Dunia tak cukup hanya dengan kamu menjadi keluarga Adinata, mereka menginginkan lebih. Kamu harus tahu itu jika tak mau tersingkirkan.''

Keringat bercucuran di pelipis Athala, ia sebenarnya takut setengah mati. Ia juga bingung darimana ia mendapat sebuah keberanian. Kekuatan untuk menentang sang mama.

''Athala nggak butuh reputasi. Athala nggak segila Mama. Lagi pula itu bukan untuk Athala dan Arum, itu semua hanya demi menjaga nama baik Mama dan keluarga Adinata. Apa gunanya semua itu jika satu pun nggak ada yang sesuai keinginan aku. Nggak ada satu pun hasil keringat dan jerih payahku. Semua itu dari Mama, dari keegoisan Mama. Lagi pula, seribu kelebihan yang aku punya nggak akan bisa menutupi kalau aku hanyalah anak pesuruh.''

Si Penitisan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang