—Pertengkaran memang buruk, tetapi nggak ada yang lebih rendah daripada memendamnya bukan. Jika pun meledak, itu sudah membuat hati lega sekalipun harus tersiksa. Cara bertahan nomor tiga.—
----
Nggak lama, ia mendengar suara derap langkah kaki yang menuju ke arahnya. Ia menoleh ketika sesosok wanita empat puluhan itu menyapa hangat penuh cinta. Menyaksikan itu membuat Andyra menyeringai singkat ketika mengingat kembali bagaimana perdebatannya beberapa hari lalu dengan wanita itu di mobil ketika keluar dari rumah sakit.
''Selamat pagi, Sayang. Bagaimana tidurmu hari ini?''
Sekilas suara wanita itu terkesan lembut dan menenangkan, tetapi nggak sama sekali dihiraukan oleh si gadis itu. Pelan, wanita itu melangkah memperpendek jarak dengan Andyra, kemudian mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepala membuat Andyra reflek menjauh.
''Ada apa sayang? Mama minta maaf jika kamu masih marah pada mama, tapi berhentilah memusuhi mama seperti ini, Arum. Mama sedih melihatmu begini terus.''
Gadis yang dipanggil Arum itu mengernyit. Bosan ia mendengar nama itu dialamatkan padanya, ia ingin berdalih, tetapi siapa yang percaya?
Ranjang berderit ketika wanita itu terduduk, menatap sedih pada gadis di sebelahnya itu yang nggak banyak bicara semenjak kepulangan dari rumah sakit beberapa hari lalu. Gadis itu terpaku, jelas ia masih terjaga belum tertidur sama sekali.
Itu bisa dilihat dari wajah cantik piasnya tertutupi dengan aura muram bertengger, sepasang mata bulat bersinarnya tampak redup dikelilingi oleh kantong hitam membesar. Gadis itu nggak bergeming, ia masih terpaku dalam diam, berkelana jauh bersama pikiran. Maria menatap sedih, nggak tahu harus berbuat apa setelah kejadian buruk menimpa anak gadisnya tersebut. Benar, kebingungan sungguh membuatnya nggak tentu arah.
Satu sisi ia bertanya: Apakah dirinya harus senang atas kembalinya Arum setelah kematian? Di sisi lain ia merasa sedih karena kejadian itu seakan-akan merenggut kehidupan anak yang dicintainya. Walau pun memang Arum selama ini nggak pernah menganggap dirinya ada. Jika pun ada, pasti hanya rona kebencian yang ditampilkan Arum untuk dirinya dan itu masih bisa diterima oleh Maria dengan baik.
Namun, ketika Arum hanya kebanyakan diam, itu sangat membuat Maria terpukul, terlebih ia mendapat anjuran dari Jihan sebelum kepulangan Arum.
Dokter itu berkata, "Maaf atas kelancangan saya. Saya hanya berpikir, apakah Nona Arum sebaiknya mendapat perawatan lebih intensif seperti memeriksakan psikologisnya. Kebetulan saya mengenal satu Psikater terbaik . Itu pun jika Nyonya bersedia menerima tawaran saya mengingat bagaimana kondisi Nona Arum saat ini.''
Maria tak menjawab, hanya cairan bening dan isakkan yang jadi penanda atas pertanyaan dokter itu. Sakit, saat ini ia seperti diseret ke bara api dan dipanggang hidup-hidup setelah kulitnya dilucuti oleh pisau-pisau tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Penitisan!
Fantasy[ Masuk daftar pendek Watty's 2021 ] ''Percayahkah kalian, jika kukatakan bahwa kematian adalah jawaban yang diberikan oleh Tuhan sebagai tahapan yang pasti dialami semua makhluk hidup. Jika iya, berarti selamat, karena kalian sudah menyadari jika k...