41. Merah Putih Berdarah

3.3K 498 241
                                    

Sebelum baca biasakan Vote. Misal masih nemuin typo, kami mohon maaf manusia gak luput dari kesalahan. Putar mulmed di atas gaes biat dapet feel part ini. Happy reading & MERDEKA🇮🇩

°°°

Dua menit sebelum sidang dibuka, Farah dan Vee datang. Mereka hanya datang berdua tanpa kehadiran Syahrir dan Chaerul Saleh.

"Pas banget timing kalian dateng. Bentar lagi sidangnya dimulai." Pipit langsung berdiri dari posisi duduk di sofa yang bersebelahan dengan Nafla.

"Syahrir sama Chaerul mana? Kok kalian cuma dateng berdua?" tanya Nafla, dengan kepala celingak-celinguk. Ia merasa aneh dua pria lain tidak hadir.

"Heehh, maklum aja, lah, Naf. Masalah beginian mah, mereka mana mau dateng. Mereka berdua cuma nganter kita sampe depan gerbang." jawab Vee, menghela napas berat.

"Malah bagus mereka gak ikut. Apalagi Syahrir, tuh." timpal Farah, ekspresinya tidak jauh berbeda dengan Vee. Kedua wanita itu sama-sama menggerutu.

"Chaerul dan Syahrir tidak pernah berubah. Selalu sinis terhadap kebijakan Jepang. Padahal beberapa kebijakan mereka, tidak sepenuhnya buruk."

Suara ringkih seorang pria tua, mengalihkan perhatian empat wanita yang asik berbicara. Farah dan Vee menatap bingung kepada seorang pria tua yang duduk berseberangan dengan mereka. Dua wanita itu merasa asing akan sosok tersebut.

"Sudah biasa, Ki Hajar. Mereka punya cara tersendiri yang menurut mereka itu adalah hal terbaik." jawab Soekarno melemparkan senyum hangat.

Kala Soekarno menyebutkan nama Ki Hajar, bersamaan itu pula Farah dan Vee saling melempar tatapan satu sama lain. Dilihat dari tatapan mereka, sepertinya mereka punya pikiran yang sama.

"Anda ini, Ki Hajar Dewantara, ya?"

Kepala Kakek yang ditanya Farah mengangguk membenarkan. Farah masih berekspresi sama, walau jawabannya telah dijawab. Nyawa Farah seperti lepas dari badan.

"Omaigaadd, Ki Hajar Dewantaraaa!" pekik Farah tiba-tiba, sukses mengagetkan semua orang tanpa terkecuali. Bahkan beberapa prajurit Jepang yang melintas ikut terkejut.

"Ki Hajaarrr! Minta tanda tangannya doonggg!" pinta Farah bersemangat sekali, bak fans yang bertemu idola di jalan. Tiba-tiba saja Farah sudah mengeluarkan buku note kecil lengkap dengan pena.

Awalnya Ki Hajar tidak mau memberikan tanda tangan, sebab takut dengan antusiasme Farah yang berlebihan. Tetapi karena tinggi rasa kasihan, Ki Hajar pun mau memberikan tanda tangan untuk Farah dengan setengah hati.

"Allahu... Makasih banyak Ki Hajar Dewantara. Syukran katsiran sudah memberi saya tanda tangan Anda yang sangat berharga ini. Saya terharu, huhuhu." Farah menerima kembali note kecilnya yang sudah tercoret tanda tangan dari Ki Hajar Dewantara. Seperti menimang bayi mungil yang baru lahir, seperti itulah cara Farah mengambil buku notenya. Sangat berhati-hati.

"Sama-sama, Nona." jawab Ki Hajar agak-agak ngeri.

Bukan hanya Ki Hajar saja yang berekspresi seperti ini. Ketiga teman Farah pun juga. Terlebih sekarang Farah sedang mencium dan memeluk-meluk note kecilnya itu.

"Gue bakalan bingkai ini tanda tangan Ki Hajar Dewantara di bingkai yang paliingg gede! Terus, gue pajang di ruang tengah rumah gue, biar kalo tetangga lewat, mereka keliatan dan pada tau kalo Farah dah dapet tanda tangan dari Ki Hajar Dewantara. Mantep..."

Nafla melirik Farah sekilas dengan tatapan aneh bercampur sinis. Kemudian, Nafla menatap Ki Hajar Dewantara dan menangkupkan tangan.

"Maklumin aja ya, Ki Hajar. Emang gitu Anaknya. Sering rada-rada kumat. Kemarin malam, saya lupa cekokin obat dia. Jadi, gitu deh. Mohon maaf lahir batin."

BataviLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang