24. Alam Pikiran Yunani (Hatta & Nafla)

3.7K 542 164
                                    

Yak! Hatta dan Nafla come back! Sebelum baca, vote dulu partnya. Dan jangan lupa spam commentnya, hehe. Satu lagi, kami TEKANKAN jangan ada yang berani JIPLAK karya perdana kami ini! Buat cerita ini penuh pengorbanan, harus banyak baca-baca sumber sejarah. Gak abis thinking sama orang yang jiplak karya orang lain. Apa gak mikir itu otak. Kemarin aja, cerita saya dijiplak lagi. Kali ini, cerita Om Pierre yang kena. Sad banget tahu:')

Okelah, selamat membaca. Maaf ya, kalo partnya banyak. Jangan bosen ya😢. Semisal masih ada typo yang ditemukan, saya mohon maaf karena manusia tidak luput dari kesalahan. Bismillah, jauhkanlah part Nafla dari comment: "Next Kakak". Mhuhehe, lop yu tomat, muach! Merdeka! 🇮🇩❤

Penulis part: Nafla080803

°°°

Nafla duduk di tepi kasur kamarnya. Ia memangku tas medisnya. Nafla memeriksa isi dalam tas tersebut. Semuanya ia keluarkan. Dari mulai peralatan medis, hingga obat-obatan. Di bagian peralatan medis tidak ada masalah. Tetapi ketika di bagian meriksa obat-obatan, tangan Nafla mendadak berhenti mencari. Hanya ada beberapa keping obat. Bisa dihitung menggunakan jari. Semua obat-obatannya sudah banyak yang habis.

"Yah, tinggal segini doang." Nafla mengangkat ke udara tiga keping obat yang ia genggam.

Tiga keping obat itu masing-masing berbeda jenis. Satu keping CTM, satu keping Paracetamol, dan keping terakhir adalah obat pereda nyeri lambung yaitu Antasidazoel.

"Harus di beli ini. Udah pada abis semua. Nih, apa-apaan Dokter cuma punya obat secuil?!" desah Nafla. Obat-obatan yang ia genggam, ia buang sembarang. Obat-obat itu jatuh tergeletak di atas kasur.

Nafla terdiam sejenak dengan pandangan terus menatap obat-obatannya. Tatapannya tertuju ke sana, namun pikirannya terbang ke mana-mana. Ada banyak hal yang Nafla pikirkan. Soal bagaimana caranya ia bisa membeli obat-obatan. Mengisi stock obat-obatannya.

"Di zaman ini, ada Apotek gak sih?" gumam Nafla bimbang. Pikirannya menebak, bahwa di zaman ini pastilah sulit mencari obat-obatan. Bisa sulit begini akibat zaman peperangan.

"Tapi..." ucapan Nafla menggantung. Ia terpikir satu hal lagi.

Tiba-tiba Nafla berdiri. Ia bergerak mencari sesuatu di antara tumpukan kopernya. Nafla membuka salah satu koper di antara dua kopernya. Ketika koper terbuka, tangan Nafla merogoh-rogoh ke dalam sana mencari sesuatu.

Ketemulah apa yang Nafla cari. Sebuah dompet berukuran sedang. Dompet berwarna coklat keemasan itu Nafla buka. Terlihat banyak lembar uang berwarna merah dan biru tersusun rapih di dalam sana.

Nafla berdecak, "Gak mungkin gue beli obat makek duit ini,"

Nafla mengambil selembar uang seratus ribu. Bentuk uang itu Nafla tatap lekat. Uang berwarna merah yang menggambarkan sosok Soekarno dan Hatta berdampingan. Mustahil Nafla menyerahkan uang ini sebagai alat transaksi jual beli. Cari mati namanya. Bisa-bisa Indonesia gagal merdeka, hanya karena ketahuan oleh Jepang ada uang berwajah Soekarno Hatta sebagai presiden dan wakil presiden NKRI.

Uang itu Nafla taruh kembali ke tempat semula. Nafla mengusap kepalanya. Pusing memikirkan masalah ini.

"Ya Allah, gimana ini? Gue harus nolong orang! Apa gunanya profesi gue, kalo gak bermanfaat bagi orang banyak? Bangsa gue membutuhkan gue..." lirih Nafla sedih.

Nafla menutup mukanya. Terbayang di pikirannya, sepintas adegan sadis yang pernah ia lihat secara langsung selama di zaman ini. Contohnya saat pergi ke rumah Belanda. Para pria yang diseret paksa oleh pihak Jepang. Ada yang sampai di pukul kepalanya. Tragedi itu sangat menyayat hati. Mengenai pekerja paksa Romusha itu juga tidak Nafla lupakan. Orang-orang kurus yang sudah renta di paksa Jepang untuk bekerja. Seharusnya orang-orang seperti itu istirahat di rumah untuk menikmati hari tua.

BataviLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang