3 || Kapan Menikah?

283 44 27
                                    


"Kapan kamu menikah?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kapan kamu menikah?"

Jujur, bosan banget mendengar pertanyaan itu, lebih ke arah muak, sih, tepatnya.

Aku heran, kenapa orang-orang suka banget bertanya seperti itu? Bukankah seharusnya mereka mendoakan saja?

Apakah mereka tidak sadar, pertanyaan sederhana yang diulang hingga ratusan kali seperti itu, dapat berdampak buruk bagi kesehatan mentalku?

Mungkin pada awalnya, aku masih bisa menanggapinya dengan santai. Mulai dari kujawab, "Nanti kalau aku udah lulus kuliah."

Setelah lulus kuliah, kembali lagi diserang pertanyaan yang sama dan ... kujawab, "Nanti kalau aku dan pacarku udah punya pekerjaan."

Lalu, setelah aku mendapat pekerjaan, pertanyaan itu kembali muncul dan kujawab, "Sepertinya, aku pengin fokus pada karir terlebih dulu."

Pertanyaannya berhenti? Tentu saja tidak. Hanya terjeda sebentar, karena pada akhirnya salah satu kakak sepupuku berkata, "Kalau mengejar karir nggak akan ada ujungnya. Usiamu terus bertambah, Prisa. Kamu akan semakin tua dan semakin sulit mendapatkan jodoh. Gimana kamu mau punya keturunan nanti?"

Bibirku mengulas senyum pada saat itu. Tapi Safira tidak tahu kalau di dalam hatiku berkata, "Seenggaknya aku dapat membeli apapun yang kuinginkan tanpa menadahkan tangan pada suami, sepertimu."

Kenapa, sih, harus menikah?

Pertanyaan itu selalu berputar di dalam benakku selama hampir satu tahun belakangan ini.

Sewaktu usiaku masih delapan belas tahun, aku pernah bermimpi untuk menikah muda bersama Arlo. Target kami menikah di usia dua puluh tiga tahun. Terlalu muda kurasa, tapi ... itulah mimpi anak bodoh yang sedang dimabuk asmara.

Setelah aku mengenal banyak macam karakter manusia di muka bumi ini, terlebih seorang laki-laki. Sepertinya mimpi itu perlahan sirna.

Justru kini, pernikahan seperti mimpi buruk bagiku. Setelah melihat banyaknya pernikahan yang gagal, dan pengkhianatan di dalam sebuah pernikahan ... aku jadi takut.

Di zaman ini, banyak sekali pasangan muda yang menikah hanya untuk sebuah konten di media sosial. Mereka menjadikan sebuah pernikahan seperti ajang perlombaan. Siapa yang lebih dulu menikah, maka dia lah pemenangnya.

Seharusnya, kan, tidak boleh begitu.

Bagiku, pernikahan adalah momen di mana seorang laki-laki mengucapkan ikrar janji secara sakral di hadapan pasangannya, Tuhan dan keluarga, serta kerabat dekat.

Bukan sekedar untuk pamer cincin berlian di jari manis dan dibagikan dalam laman media sosial, lalu bercerai setelah satu bulan hidup bersama.

Menyedihkan? Memang. Begitulah drama para pejuang like dan subsciber sekarang.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang