"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi."
.
.
.
Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Butuh delapan belas hari sampai darah kotorku benar-benar berhenti keluar. Sungguh waktu yang panjang dan melelahkan dari biasanya.
Rasanya seperti baru saja melepaskan ribuan kilo lemak dari dalam tubuhku selama belasan hari.
Aku butuh liburan. Aku butuh hiburan yang menyenangkan. Pekerjaan di akhir tahun ini juga membuatku penat bukan main.
Akhir pekan ini, Harvey ulang tahun. Sebelumnya aku sudah sempat mencari-cari hadiah apa yang cocok untuknya.
Kemarin, aku sempat mengirimkan beberapa foto jam tangan pada Tabita. Aku meminta pendapatnya, jam tangan mana yang kira-kira cocok untuk Harvey. Tabita pun bingung, karena secara visual saja dia tidak tahu seperti apa rupanya laki-laki itu.
Dan mengingat betapa ribetnya laki-laki itu, akhirnya aku memilih untuk menanyakan langsung saja padanya, apa yang sedang dia inginkan dan butuhkan.
"Aduh, nggak perlu beli hadiah," katanya sewaktu kami bertemu di 'Tempat Biasa'.
"Tapi, aku mau kasih hadiah," rengekku padanya.
"Kenapa sih, harus kasih hadiah?" tanyanya setelah mengembuskan banyak asap dari rokok elektriknya.
"Pengin aja. Kenapa sih, kayaknya nggak mau banget dikasih hadiah?" Aku cemberut kali ini, lalu Harvey memicingkan matanya.
"Nggak perlu cemberut begitu, jelek," katanya dengan nada menyebalkan dan kubalas dengan dengusan kesal.
Lama dia terdiam, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Sampai akhirnya dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menyibukkan diri dengan benda pipih itu. Jujur saja itu membuatku jengkel, bisa-bisanya dia mengabaikanku yang memiliki niat baik untuk membelikannya hadiah ulang tahun.
"Ini aja, deh!" Harvey menunjukkan laman situs belanja online salah satu brand asal Spanyol. "Aku pengin tas ini, nggak terlalu mahal juga."
"Oke."
"Tapi, jangan deh!" Dia meletakkan ponselnya di samping piring kosong. "Simpan aja uangmu," katanya dengan senyum ringan.
"Ih, gimana sih?" Siapa sih yang tidak kesal? Harvey ini lebih menyebalkan dari perempuan yang kalau ditanya jawabnya selalu 'terserah'.
"Sssh! Jangan berisik. Kamu itu jelek kalau ngomel." Bukan cuma menyebakan, tapi mulutnya itu benar-benar penuh racun. Tidak jarang aku sakit hati karena perkataannya yang asal.
Percuma saja memperdebatkan hal kecil dengan manusia satu ini, tidak akan ada untung dan ujungnya. Jadi yang kulakukan hanya diam dan tersenyum saja seperti orang bodoh. Walau dalam hatiku sedang mencacinya seperti seorang rapper.
"Staycation, yuk!" ucap Harvey tiba-tiba memecahkan keheningan di antara kami.