2 || Radit

345 46 10
                                    


Laki-laki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Laki-laki itu ....

Dia masih memiliki gaya rambut yang sama, gaya rambut yang selalu kusuka. Rambutnya cepat sekali tumbuh dan membuatnya seringkali jengkel karena harus pergi ke barber shop dua kali dalam sebulan.

Dulu, dia sering memintaku memakaikan vitamin rambutku ke rambutnya. Katanya, dia suka dengan aroma rambutku dan ingin rambutnya menjadi sehalus milikku.

Cara bibirnya mencetak sebuah senyuman juga masih sama. Matanya menyipit pada saat dia tersenyum.

Seharusnya aku membencinya, bukan? Seharusnya aku mengamuk padanya, benar?

"Hai, Prisa." Suaranya masih sama. Telingaku masih mengenalinya dengan baik.

"Hai, Radit."

Benar, kok. Tidak salah sama sekali.

Laki-laki yang kutemui hari ini adalah Radit—mantan pacar yang kutinggalkan dengan cara hantu.

Beberapa hari lalu, dia membalas unggahan cerita yang kubagikan di Instagram. Kemudian, dia mengajakku bertemu hari ini untuk makan siang. Kupikir, kenapa tidak?

"Apa kabar?"

"Luar biasa."

"Kelihatan, sih. Kamu kelihatan sehat."

"Aku udah sembuh, Dit." Aku tersenyum.

"Pris." Dia mencebikkan bibirnya. Lucu banget. Dia masih bersikap seolah kami masih pacaran.

Radit adalah laki-laki yang gengsinya setinggi Burj Khalifa. Dia bisa bersikap manja saat bersamaku, tapi akan bersikap dingin di hadapan teman-temannya atau orang lain.

"Gimana kabarmu, Dit?"

"Bulan lalu aku kecelakaan."

"Aku lihat unggahan cerita di Instagram Adi. Tapi syukurlah kamu nggak meninggal," gurauku dan dia tertawa kecil.

"Aku udah pesan makanan, ayam penyet sambal ijo kesukaan kamu," katanya dengan senyum yang berusaha disembunyikan.

"Makasih, Dit."

Makan siang bersama di restoran langgananku berjalan dengan baik dan lancar.

Aku dan Radit tidak banyak bicara sampai makanan kami kandas. Sesekali dia hanya mengulaskan senyumnya sambil menyeka peluh di sekitar pelipisnya.

Radit itu mudah sekali kepanasan. Terlebih bila makan pedas di ruangan terbuka seperti sekarang. Dia yang memiliih area merokok, jadi ... ya rasakan saja panasnya.

Kipas angin di atas kepala kami, nampaknya tidak memiliki pengaruh besar. Pasalnya cuaca siang ini lumayan kurang bersahabat.

"Kenyang nggak?" Aku mengangguk. "Mau pesan pancake durian?" Dia selalu ingat kebiasaanku setelah makan ayam penyet, biasanya aku selalu memesan pancake durian sebagai pencuci mulut.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang