80 || Perempuan Gagal?

99 19 0
                                    

Rasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasanya... seperti ada bagian yang hilang dari diriku. Bagian dari diriku yang dirampas begitu saja oleh orang asing yang tidak kukenal.

Hampa.

Kosong.

Hancur banget!

Aku memang pernah berpikir untuk tidak memiliki anak, karena membayangkan seperti apa rasa sakitnya melahirkan. Selain itu juga, karena sering melihat anak kecil nakal yang menjengkelkan membuatku berpikir puluhan kali. Aku khawatir tidak kuat mental dan berakhir merebus anakku sendiri karena emosi.

Tapi, mendengar diagnosa Dokter Clara tadi... rasanya sedih banget.

Hamil dan memiliki keturunan adalah impian hampir seluruh perempuan di muka bumi. Seorang laki-laki juga pasti pengin punya keturunan dari perempuan yang dicintainya.

Lantas, bagaimana denganku?

Kalau aku bukan seorang muslim, mungkin aku bisa menjadi biarawati sampai mati.

Hari ini, aku harus mengubur dalam-dalam keinginan dan mimpiku untuk menikah dengan Harvey.

Ah! Itu memang bullshit!

Pikiran konyol!

Seandainya pun tidak ada 'batas' antara kami, kondisi kesehatanku ini tetap akan jadi masalah besar.

Siapa sih, yang mau menikahi perempuan yang tidak bisa memberikan keturunan?

Rasanya benar-benar gagal jadi perempuan.

Banyak laki-laki di luar sana yang menikahi perempuan cantik nyaris sempurna, memiliki anak yang lucu-lucu, tapi masih saja selingkuh dengan berbagai alasan. Apalagi kalau istrinya tidak bisa memberikan keturunan? Bisa-bisa dijadikan keset kamar mandi!

Lebih baik aku tidak menikah seumur hidup daripada harus dipoligami dan harga diri diinjak-injak suami.

Harvey memberikan sebotol air mineral untukku."Minum dulu. Setelah ini kita makan malam." Dia membuka segel dan tutupnya untukku.

Tadi aku memang merasa haus, tapi sekarang aku tidak pengin minum sama sekali.

Namaku dipanggil melalui speaker di ruang tunggu. Harvey berjalan ke bagian administrasi. Sesekali dia menoleh ke belakang, mungkin untuk memastikan kalau aku masih bernyawa, belum bunuh diri pakai kertas hasil usg.

"Berapa?" Aku merebut kertas yang berisi rincian biaya konsultasiku hari ini. Syok banget! Biayanya sama dengan satu kali gajiku dalam sebulan. "Aku ganti." Kubuka aplikasi mobile banking untuk mengganti uang Harvey.

"Pris." Dia mengambil ponselku dan memasukkan benda pipih itu ke dalam tasku. "Nanti kita cari Rumah Sakit lain dan dokter yang lain juga ya? Barangkali diagnosanya bakal berbeda."

Harapanku juga begitu. Aku berharap ini semua cuma mimpi dan saat bangun nanti, semua baik-baik saja seperti sebelumnya.

Kuambil lagi ponselku untuk membuka aplikasi mobile banking lagi. Dan kali ini Harvey merebutnya sambil menatapku kesal. "Kenapa kamu masih mikirin biaya di saat begini, sih?" desisnya menahan amarah.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang