Sepertinya pertanyaanku akan kedatangannya benar-benar salah dan membuatnya tersinggung. Sudah lima belas menit aku dan Harvey duduk di Tempat Biasa, memesan menu yang biasanya dan menunggu seperti biasa.
Tapi satu yang tidak biasa, raut wajah muramnya. Jujur saja, dengan raut wajahnya yang seperti itu dia membuatku ketakutan. Aku teringat pada malam dia mengusirku dari indekos, tatapan tajam itu ... masih menakutkan bagiku.
"Silakan," ucap Mas Jeje sembari menyajikan minuman pesananku dan Harvey ke atas meja.
"Makasih, Mas Jeje," ucapku disertai senyum terbaikku yang tulus.
Harvey mengangkat wajahnya, menatapku tajam dan membuat senyumku luntur. Kemudian dia tersenyum tipis pada Mas Jeje.
"Genit banget," ucap Harvey ketus, setelah Mas Jeje pergi.
"Genit? Maksudmu?"
Dia mendecak, kemudian meraih gelas Frapuccino. "Kenapa kamu kaget gitu pas aku datang tadi?" tanyanya sebelum menyesap minumannya. "Takut ketahuan sama laki-laki yang lain?" Dia meletakkan gelasnya ke atas meja dengan sedikit kasar hingga membuatku terkesiap.
"Kenapa mikir begitu?"
"Jawab!" Tatapannya kini lurus dan tajam.
Aku menggelengkan kepala tidak mengerti sekaligus tidak percaya dengan sikap yang baru saja dia tunjukkan di tempat umum seperti ini. Harvey yang kukenal baik, lembut dan selalu tersenyum ... sudah berubah.
Tidak!
Dia tidak berubah,
Hanya saja aku yang bodoh tertipu olehnya. Selama ini dia tidak menjadi dirinya sendiri, tapi sekarang dia menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya, seperti apa sifat aslinya.
"Harv, ini tempat umum. Jangan membentakku," desisku sembari memajukkan kursi dan sedikit mencondongkan tubuh ke arahnya. "Aku kaget karena kamu nggak bilang mau datang, aku nggak berekspektasi kamu bakal datang ke kantorku."
Harvey mengibaskan tangan secara dramatis sambil mendecak dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Tangan kirinya bergerak mengeluarkan rokok elektrik dari dalam saku celana, kemudian dia mulai menyesap dan mengembuskan asap dengan aroma apel yang menerpa wajahku karena terbawa oleh angin.
"Kalau kamu cuma mau mempermalukan aku di sini, sebaiknya aku balik ke kantor. Kerjaanku masih banyak." Aku berdiri dari kursi, namun Harvey melotot.
"Duduk!" perintahnya dengan tegas, seperti seorang ayah yang hendak memarahi anaknya yang mendapatkan nilai merah dalam rapor kenaikan kelas.
Aku benci diperintah! Aku tidak pernah menyukai perintah dalam bentuk apa pun! Aku masih sering membantah perintah ayahku, bahkan sering melanggar perintah Tuhan dan atasanku di kantor. Lalu, kenapa aku harus menuruti perintahnya? Memangnya dia siapa?
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Romanzi rosa / ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...