Sejak Harvey menceritakan masa lalunya yang kelam. Dia jadi mulai sedikit terbuka tentang beberapa hal.
Misalnya, dia menceritakan tentang pekerjaannya secara detail. Masalahnya di kantor. Lalu, dia juga mulai bercerita tentang keluarganya walau hanya sedikit dan sepenggal-sepenggal. Tapi itu bentuk sebuah kemajuan, kan?
Selain itu, dia juga banyak berubah. Menjadi sedikit lebih tenang dan lebih sering meminta maaf lebih dulu setiap kali kami berdebat tanpa drama atau playing victim.
Laki-laki memang rumit. Terlebih untuk yang memiliki gengsi setinggi langit.
Seperti Harvey... awalnya aku sempat beberapa kali frustasi menghadapinya. Beberapa kali aku mau menyerah dengan hubungan kami yang belum jelas saat itu.
Tapi entah kenapa, hati kecilku selalu meyakini bahwa Harvey adalah laki-laki yang baik, berhati lembut dan penyayang. Entah dari mana datangnya keyakinan itu, aku mendengarkan hati kecilku.
Hingga akhirnya aku bertemu dengan dirinya yang lain, yang ternyata begitu lembut. Aku melihatnya saat dia menghadapiku yang sedang sakit.
Malam itu, perutku kram lagi, kali ini disertai nyeri yang luar biasa. Aku sampai tidak bisa bergerak dan hanya terbaring sambil merintih di atas kasur kost yang membuat rasa sakitnya jadi berkali lipat.
"Ke Rumah Sakit aja, Yuk!" Mungkin sudah yang ke empat kalinya Harvey membujukku sejak setengah jam lalu, tapi selalu kutolak dengan gelengan kepala.
Berulang kali juga aku mencoba untuk memasang wajah yang seolah mengatakan 'aku baik-baik saja' tapi nyatanya gagal terus karena rasa nyerinya luar biasa menyiksa sampai tidak bisa mengontrol ekspresi wajahku.
Rasanya seperti ada sesuatu yang menendang perutku dari dalam dan memukulku dengan benda tumpul. Kepalaku sampai sakit, mungkin karena menangis atau mungkin karena menahan nyeri dari kram terkutuk itu.
Aku tidak hamil. Tidak ada bayi atau makhluk hidup lainnya di dalam rahimku. Seharusnya tidak ada yang bergerak atau bahkan menendang dan memukuliku dari dalam.
Kulirik Harvey, dia masih menunduk—duduk di pinggir kasur sambil mengusap lengan kiriku. Sesekali dia melepaskan tangannya dariku untuk mengusap wajah.
"Kamu mikirin apa?"
Dia mengangkat wajah dan menatapku nanar. "Kamu kesakitan, Pris. Aku ngerasa nggak berguna kalau cuma begini. Bahkan membujuk kamu ke Rumah Sakit pun nggak bisa."
Ya ampun... kok bisa dia berpikir begitu? Aku jadi merasa tidak enak hati.
"Kamu mau ngapain?" tanyanya saat aku hendak duduk sambil meringis menahan rasa nyeri.
Kurengtangkan kedua tanganku. Dia mencium pipiku dan memelukku erat. "Aku takut disuntik, Harv."
Dia melepas pelukan dan memegang kedua bahuku—menatap dengan alis yang berkerut. "Kamu nggak perlu disuntik untuk dapat penanganan, Pris. Dokter nggak bakal sembarangan suntik pasien tanpa alasan." Dia kelihatan serius saat mengatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...