91 || Keputusan Sepihak

39 5 2
                                    

"Silakan," kata Dimas saat membukakan pintu mobil untukku.

"Makasih."

Saat pintu mobil di tutup, seketika aku langsung bersin-bersin, terlebih ketika Dimas sudah masuk dan duduk di depan kemudi.

"Eh, kamu flu?"

Kugosok hidungku yang terasa gatal karena batal bersin. "Wangi banget, astaga!" Aku menggeram pelan.

Aku suka laki-laki yang wangi, tapi bukan yang berlebihan begini. Lagi pula, aroma parfum yang Dimas pakai dan aroma dari pewangi mobilnya tabrakan banget.

Tolong! Aku beneran nggak kuat! Pengin muntah.

"Biasanya perempuan suka laki-laki yang wangi, jadi aku pakai parfum lebih banyak dari biasanya." Dimas terlihat malu sambil tertawa kecil mendorong perseneling. "Supaya kamu terkesan."

Terkesan? Sama sekali enggak.

Kalau Harvey yang wangi, aku suka.

Ngomong-ngomong soal Harvey, kami belum berkomunikasi lagi sejak dua hari lalu. Kebisaanya yang suka menghilang sehari dalam seminggu sudah kumaklumi.

Tapi berbeda kali ini.

Dengan tekadku yang sudah bulat untuk pergi, kupikir akan lebih mudah saat Harvey menghilang dua hari. Ternyata... aku jadi gelisah dan semakin overthinking.

Sebentar-sebentar mengecek ponsel dengan harapan ada chat masuk dari Harvey.

Sepertinya, aku memang bodoh permanen dalam hal percintaan deh.

Jujur, capek banget loh jadi orang bodoh dalam percintaan begini.

"Kamu kenapa nggak balas chat aku, Pris? Telepon juga nggak pernah diangkat."

Harus banget dijawab nih? Harusnya dia tau dong tanpa perlu meminta kejelasan.

"Aku bukan tipe yang suka chatting atau teleponan, Kak. Maaf ya."

"Tapi daritadi kamu ngecek handphone terus. Nungguin telepon ya?"

Aku cuma tersenyum seadanya. Malas juga menjelaskannya, lagipula aku sudah pernah bilang kalau aku punya pacar. Tapi dia masih juga nekat. Atau ngeyel lebih tepatnya.

"Pacarmu kerja di mana, Pris?"

Keningku berkerut mendengar pertanyaan Dimas. "Kayaknya nggak perlu tau deh, Kak, kalau soal itu."

"Oke, sori." Dia mengangkat tangan kanannya, dan tangan kirinya tetap di kemudi. "Oh iya, kita mau nonton apa nih?"

"Nggak usah nonton deh, Kak. Makan aja."

"Loh? Kenapa?"

"Kemaleman nanti pulangnya." 

"Kan emang sengaja mau nonton midnight, Pris. Seru tau. Apalagi kalau nonton film horor." Dia terkekeh.

Gaya banget ngajak nonton film horor. Kalau kukasih tau ada kuntilanak tepat dibelakang kursinya, sedang membelai kepalanya sekarang, kuyakin dia bakalan pingsan sih.

Dimas nggak tau kalau aku indigo.

Laki-laki kayak begini kartunya udah kebaca banget sih, ngajak nonton midnight, pasti modus! Dia pikir, aku bisa dibungkus.

Ih, enggak deh! Nggak mau!

"Makan nasi kebuli aja, di depan sana ada yang enak."

"Di pinggir jalan?"

"Iya."

"Kamu yakin?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang