Radit :
Hai, Pris. Apa kabar? Maaf kalau aku ganggu tengah malam begini, pasti kamu udah tidur. Aku cuma mau bilang kalau aku kangen banget sama kamu. Setelah aku dekat sama banyak perempuan, ternyata aku masih merasa kosong. Setiap kali aku pergi sama orang lain, aku selalu membayangkan orang itu adalah kamu.
Karena aku merasa nggak nyaman, akhirnya setiap kali aku pergi sama orang lain ... aku selalu menghindari tempat-tempat favorit kita. Aku takut, kenangannya begitu kuat sampai aku nyakitin orang yang lagi sama aku.
Dan ... satu minggu belakangan ini, aku sering datang ke tempat-tempat yang pernah kita datangi sebelumnya, cuma duduk dan mengingat saat-saat kita masih sama-sama.
Aku tau, ini bakalan terkesan bullshit. Tapi, aku masih belum bisa lupain kamu, Pris. Aku masih sayang kamu dan rasanya ... nggak pernah ada yang bisa gantiin kamu. Sebaik apa pun perempuan yang kukenal, nggak ada yang seperti kamu.
Ingat, kan? Aku pernah bilang kalau aku sayang banget sama ibu dan pengin punya pasangan yang seperti ibu? Itu kamu, Pris. Hati kamu sebaik ibu, sifat kalian hampir serupa. Kalian malaikat baik yang ada di hidupku.
Tapi, ego yang membuatku kehilangan kamu. Maafin aku, Pris.
...
Pukul dua pagi aku terbangun karena kantung kemihku terasa penuh dan harus segera buang air kecil. Air yang dingin ditambah dengan turunnya hujan yang cukup deras pagi ini, membuat suhu menjadi dingin sehingga aku berlari kencang kembali ke kamar dan berlindung dibalik selimutku.
Aku terkejut ketika membuka pesan dari Radit yang begitu panjang. Laki-laki itu bukanlah tipe manusia yang bisa bicara panjang lebar melalui sebuah pesan.
Prisa :
"Are you drunk?"Hanya beberapa detik, pesanku sudah dibaca oleh Radit. Laki-laki itu masih terjaga ternyata. Tak lama kemudian, dia meneleponku.
"Halo, Prisa?"
"Ya?"
"Aku nggak mabuk, kok. Maaf ya, aku nggak bisa tidur dan kepikiran kamu aja," ujarnya dengan suara lemah.
"Aku kira, kamu mabuk. Soalnya, aneh aja seorang Radit bisa mengetik pesan sebanyak itu," kekehku dan dia ikut terkekeh di seberang sana.
"Just wanna say thank you, for the happiest years of my life. I hope we didn't end it that way. But, it is what it is, i guess."
"Are you okay, Dit?" Dia terdiam setelah mendengar pertanyaanku. Diamnya cukup lama dan membuatku bingung harus melakukan apa.
"Apa kamu bahagia, Pris?" tanya Radit tiba-tiba.
"Kenapa kamu tanya begitu?"
"Aku cuma mau tau, apa kamu udah bahagia sekarang?"
Apa aku sudah bahagia? Aku tidak tahu. Setelah putus dengannya, aku memang tidak menangis. Sungguh. Aku pun hingga saat ini masih bingung, kenapa aku tidak menangis ketika hubungan yang selama empat tahun kami jalin harus berakhir begitu saja?
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...