Ternyata Harvey bertemu dengan seseorang di sebuah toko yang menjual berbagai macam barang 'fancy'.
Di bagian agak ke dalam lagi ada coffee shop, tapi terlihat sepi. Mungkin karena mahal? Atau kurang enak? Mungkin belum banyak yang tahu?
Aku duduk di salah satu kursi yang berada di paling pinggir setelah meminta izin pada pemilik toko dan pemilik toko itu memberitahu barista.
Harvey lama banget ngobrolnya. Kopi yang kubawa dari mall tadi sudah habis. Aku sudah pipis, sampai pengin pipis lagi dan aus lagi.
Satu persatu customer mulai berdatangan untuk memesan kopi.
Barista yang berdiri dibalik mesin kopi tersenyum padaku. Aku mengangguk dan membalas senyumnya.
Semoga Harvey tidak melihatnya. Aku khawatir kali ini dia bakal membanting mesin kopi ke wajah barista yang rambutnya seperti Gerald di Hey Arnold!
Harvey memanggilku sambil melambaikan tangan. Dia meminta pendapatku soal sepatu yang dipegangnya. Sepatu yang dia cari. Sepatu yang bikin dia rela datang ke sini.
Sumpah, aku benar-benar tidak melihat keistimewaan dari sepatu itu selain tulisan Off-White pada bagian samping dan di ujung talinya. Tulisannya pun kecil banget, font-nya sama, seperti memudar. Memang begitu desainnya.
"Bagus."
"Aku cocok nggak?"
Pengin bilang, 'enggak' tapi kayaknya Harvey butuh banget dukungan. Akhirnya kujawab 'iya' sambil mengangguk.
"Nih, ada voucher kopi gratis. Masa beli sepatu, gratisnya cuma kopi," gurau Harvey pada laki-laki pemilik toko yang tertawa menanggapinya.
"Harusnya dikasih itu." Kutunjuk tas mini di dalam etalase.
Sang pemilik toko mengangkat tangan. "Masa bonusnya setengah dari harga sepatu yang dibeli? Aduh jangan! Itu sih sedekah namanya bukan jualan." Dia tertawa bersama Harvey.
Padahal aku cuma asal tunjuk micro bag Gucci yang ada di etalase. Gucci itu pasti mahal, lalu berapa harga sepatunya Harvey?
Kubawa voucher kopi ke barista. Kutukarkan dengan segelas Iced Mocha Latte kesukaan Harvey.
"Makasih ya, Kak."
"Saya yang makasih, Mas." Aku mengambil sedotan dan tisu.
"Maksudnya, makasih karena Kakak duduk di situ tadi, sekarang jadi ramai." Barista itu tersenyum lebar.
Aku menoleh ke belakang dan... benar. Tiba-tiba hampir seluruh meja dan kursi sudah terisi orang. Jadinya aku ini beneran kayak Meneki Neko yang dipercaya membawa keberuntungan untuk menjadi penglaris dagangan?
Suara dehaman membuatku terperanjat. "Tukar apa?" Harvey sempat berpaling ke barista itu dan memberinya tatapan datar yang tajam. Tapi barista itu justru tersenyum ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Chick-Lit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...