Sesuai dengan dugaanku. Manusia-manusia yang biasanya tidak pernah memanusiakanku, tiba-tiba saja jadi pengin banget berinteraksi denganku di acara pertunangan Vivi tujuannya hanya untuk memojokkanku dengan pertanyaan basi.
Aku hampir meludahi salah satu adik perempuan Ayah seandainya saja tidak ada Zain di sebelahku.
Selebihnya aku memilih untuk menyendiri di dalam mobil, menunggu Ayah dan yang lainnya selesai basa-basi. Kasian juga ibuku terjebak di dalam sana.
Sudah hampir satu album lagu yang diputar oleh saluran radio yang kuganti-ganti sejak tadi.
Ponselku di atas dashboard bergetar. Senang banget sewaktu lihat nama Harvey bergoyang-goyang di layar.
"Harv..."
"Hey! Kamu udah pulang?"
"Belum. Kami telat datangnya tadi."
"Kok bisa?"
"Macet." Harvey tidak perlu tau yang sebenarnya.
"Gimana acaranya?"
"Nggak tau, kan kami telat datangnya."
"Terus, kenapa suaramu bete begitu?"
Aku menghela napas kesal. "Sesuai dugaanku, Harv. Kedatanganku ke sini tuh cuma buat diolok-olok doang. Jadi kesal."
"Hmm, pertanyaan jaman kolonial?" Dari suaranya terdengar jelas kalau Harvey juga sangat membenci pertanyaan kramat itu. Pasti dia sudah mendapat ribuan pertanyaan itu sampai muak sepanjang hidupnya.
"Gitu lah. Aku dari tadi di mobil. Hampir aja aku—" kuurungkan untuk melanjutkan cerita. Aku tidak mau membuatnya ilfeel karena niat jahatku yang ingin meludahi adik perempuan Ayah.
"Hampir aja kenapa?" desaknya.
Mana mungkin Harvey bisa dengan mudah membiarkan dirinya penasaran setengah mati pada ceritaku yang belum selesai?
"Uhm, hampir aja kuludahi adik perempuan ayahku," ucapku pelan penuh keraguan.
"Karena menodongmu sama pertanyaan 'kapan nikah?'".
"Iya. Dia juga bilang 'masa kalah sama adiknya? Nggak malu dilangkahi? Mau punya anak di umur berapa nanti? Nunggu keriput? Apa nggak malu nanti udah keriputan baru punya anak?' Nyebelin, kan?" Aku menirukan cara bicara adik ayahku yang mirip presenter gosip di televisi.
"Kenapa nggak kamu ludahi aja? Biar dia tau, kalau mulut bisa dipakai buat meludah, bukan cuma untuk mencibir." Nada bicaranya terdengar kesal. Atau mungkin dia marah karena ada yang mempermalukanku begitu? Atau hanya karena dia juga pernah berada di posisiku?
Jujur, aku agak kaget mendengar tanggapannya. Tapi itu membuatku lega. Aku tertawa tanpa suara sambil menggelengkan kepala.
Tidak banyak yang dibicarakan dalam telepon. Harvey hanya menemaniku ngobrol sebentar, karena dia adalah manusia yang cukup hemat dalam berkata-kata, sekalinya dia bicara biasanya kata-kata yang keluar bisa mengandung racun mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Chick-Lit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...