Harvey menyebalkan!
Dia tetap menyimpan fotoku, padahal aku sudah merengek memintanya untuk menghapus tapi dia sama sekali tidak mendengarkanku.
Pada saat makan bersama beberapa jam yang lalu, aku dan Harvey sama sekali tidak bicara. Aku masih sebal padanya, dan dia ... entah kenapa justru mendiamkanku.
"Jangan cemberut begitu," kata Harvey dengan nada sebal.
"Kamu nyebelin, sih!"
"Jangan lebay, itu cuma foto biasa, apa salahnya kusimpan?" ucapnya acuh, kemudian dia beranjak dari kursi menuju kulkasnya. "Kamu mau rum?" Dia menawarkan dan aku diam saja.
Yang aku dengar selanjutnya hanyalah suara botol yang berdenting akibat bersentuhan dengan gelas. Dia meletakkan dua gelas kosong, satu botol rum dan satu botol cola.
Aku masih diam saja, masih merasa sebal padanya. "Prisa!" bentaknya tiba-tiba membuatku terkejut hingga aku mengelus dada.
"Astaga! Kenapa harus membentak?"
"Kamu tuli atau gimana, sih?" Dia mendengkus lalu menuangkan rum ke dalam satu gelas dan kemudian mencampurnya dengan cola. "Mau nggak?" tanyanya dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.
"Iya," sahutku dengan nada yang sama tingginya.
"Apa susahnya tinggal menjawab pertanyaan orang, sih!" gerundel Harvey sembari mendorong gelas yang sudah terisi campuran rum dan cola ke arahku.
"Maaf." Aku mengalah.
"Telat," jawabnya masih kesal.
Menyebalkan! Apakah ini sifat aslinya? Jika memang benar, dia akan mengingatkanku pada Arlo.
Dengan perasaan sebal padanya bercampur dengan rasa kecewa akan percakapan orangtuaku pagi tadi membuatku menghabiskan minumanku hanya dengan satu kali teguk.
Harvey menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Haus?"
"Sebal!" Kuletakkan gelas kosongku di atas meja, kemudian aku mengisi ulang gelasku dengan campuran rum dan cola. "Aku menginap ya, malam ini." Kalimat itu adalah pernyataan, bukan pertanyaan.
Harvey meraih gelas yang sudah berada di ujung bibirku. "Apa?" tanyanya.
"Kamu belum tuli, 'kan? Aku nggak perlu mengulangnya."
"Nggak usah bicara begitu," decaknya kesal, kemudian dia meletakkan gelas minumanku di atas meja. "Ada apa? Kenapa tiba-tiba mau menginap? Memangnya boleh? Kamu izin ke mana tadi?"
"Suasana di rumah nggak kondusif, kalau aku nggak boleh menginap di sini ... nggak apa-apa." Kuambil kembali gelasku dan segera kuminum minumanku sampai setengah.
"Jangan bicara begitu. Boleh."
Harvey beranjak dari sofa untuk membuka lemari pakaiannya. Kuperhatikan beberapa saat, dia nampak sedang berpikir sembari menatap tumpukan pakaiannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Chick-Lit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...