55 || Drama Keluarga

73 12 0
                                    

"Hey! Gimana acara bukbernya?" Aku tersenyum saat mendengar suara Harvey

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hey! Gimana acara bukbernya?" Aku tersenyum saat mendengar suara Harvey.

"Ya... begitu lah," jawabku sedikit malas.

"Begitu gimana?"

"Biasa lah, satu hal yang paling bikin males kalau kumpul keluarga besar di saat udah umur segini tuh —"

"Ditanya kapan nikah?"

Tentu saja Harvey tidak asing dengan pertanyaan itu. Usianya lebih banyak dariku, pasti dia sudah mendapati ratusan pertanyaan serupa selama ini.

"Biasa deh, template pertanyaan yang sering dipakai di acara keluarga."

Aku menghela napas panjang sesaat setelah berbaring di atas ranjang. Mocca melompat naik dan berbaring di sampingku, menggosok kepalanya ke punggung tanganku. Tanda kalau dia minta dielus.

"Prisa! Ke sini, Dek!" Ayah berteriak kencang banget.

Tumben.

Mocca sampai melompat kaget. Akupun sama kagetnya dengan kucing gembul itu.

"Dipanggil?" Bahkan Harvey pun mendengar suara teriakkan ayah.

Ada apa, sih? Kenapa ayah harus berteriak begitu? Tidak seperti biasanya.

"Prisa Mikayla!" Suara ayah kali ini jauh lebih kencang, diiringi dengan ketukan pintu kamar yang membuat jantungku berdebar seketika.

Kalau ayah sudah berteriak memanggil nama lengkap seperti ini, tandanya ada sesuatu yang sangat penting atau ada kesalahan besar yang kuperbuat dan ketahuan olehnya.

"Nanti aku telepon lagi ya, Harv. Bye."

Kusudahi sambungan telepon dengan Harvey. Meninggalkan ponsel begitu saja di atas ranjang. Aku tertatih berlari keluar dari kamar bersama Mocca.

"Kenapa, Yah?"

"Duduk!"

Seumur hidupku, baru kali ini kulihat raut wajah ayah yang sedang menahan amarah. Alisnya menukik tajam, seram juga ayahku kalau begini. Baru kali ini juga kulihat ayah sangat serius.

Aku pernah membuat kesalahan besar, tapi alis ayah tidak sampai menukik tajam begitu.

Di ruang keluarga, ada aku, ayah dan ibu, juga Mocca yang berbaring di lantai—sedang menjilati perutnya. Formasi ini sudah biasa, tapi untuk kali ini rasanya sedikit menegangkan.

"Benar pacarmu non muslim?"

Astaga!

Sepertinya ini bakalan jadi sinetron kejar tayang sampai ratusan episode. Bakalan panjang nih, urusannya.

"Udah sampai di rumah, masih dibahas juga." Aku menghela napas.

"Harus dibahas!"

Aku mengerjap pelan saat ayah membentak. Ibu melirik, kemudian mengalihkan perhatiannya pada Mocca yang diangkat ke pangkuannya.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang