"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi."
.
.
.
Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setiap orang pasti punya badai dan pelanginya masing-masing... Dan sekarang. aku sedang menghadapi badaiku sendiri.
Benar kata orang, jauh lebih sulit menghadapi dan melawan diri sendiri.
Entah berapa banyak tisu yang kuhabiskan, entah berapa banyak usapan punggung yang dilakukan oleh Harvey, entah berapa banyak aku merintih dan terbangun dari tidurku.
Mungkin ini lah, titik terendah dan ter-lemah dalam hidupku.
Menjelang pagi, kurasa. Aku terbangun lagi. Tapi kali ini Harvey sama sekali tidak bergeming. Dia pasti lelah menungguiku semalaman.
Lengan kananku terasa sakit karena semalaman berbaring miring dan Harvey ternyata memelukku sampai pagi.
Kusingkirkan pelan-pelan tangannya. Dia mengeluh tapi tidak bangun, hanya berpaling ke arah lain. Kusingkirkan rambut yang menutupi wajahnya, lalu kukecup pipinya yang membentuk garis merah karena tekanan pada lipatan sarung bantal.
Laki-laki kaku ini sudah begitu baik padaku. Walaupun aku masih belum tau, bentuk perhatiannya kali ini karena memang karena dia sayang padaku atau hanya karena kasihan. Yang pasti, sejauh ini dia telah banyak melakukan kebaikan untukku.
Pelan-pelan merangkak turun dari kasur menuju kamar mandi. Air pagi ini dingin banget, aku sampai menggigil setelah selesai buang air kecil dan kembali ke kasur.
Meskipun tidurnya lelap, tapi Harvey sadar aku kedinginan. Dia berbalik lagi dan memelukku lagi setelah menyelimutiku dengan mata terpejam.
Perhatian kecilnya ini membuatku jadi lemah banget.
Sekitar pukul 10 pagi, aku terbangun karena gerakan tiba-tiba ciri khas Harvey bangun tidur. Dia duduk di pinggir kasur setelah menusuk kopi dingin kemasan yang diambil dari kulkas mini.
"Gimana? Masih sakit?" Aku bisa melihat dengan jelas, lelah di wajahnya, dan matanya masih mengantuk.
Aku menggeleng. "Enggak kok."
"Syukur deh, semoga obatnya cocok ya." Dia mengusap kepalaku lalu bangkit dan duduk di depan layar laptopnya. "Hari ini keponakanku ulang tahun. Kakakku barusan info."
"Ucapin dong. Tanya, pengin hadiah apa?"
Harvey cuma terkekeh.
Selanjutnya aku tidak tau apa yang dilakukannya, karena aku lanjut tidur lagi. Karena jujur, perutku sebenarnya masih nyeri.
Pukul setengah dua belas siang, aku terbangun karena suara Harvey yang sedang menelepon. Seperti sebelumnya, dia memintaku untuk tidak bersuara.
Tepat saat aku duduk dan mengikat rambut, Harvey sudah selesai menelepon.
"Kakakku." Dia memberitahu. "Tadi kutanya keponakanku pengin apa, eh dia minta sepatu," katanya sambil tertawa dan menggelengkan kepala. "Kamu sih, nyuruh aku nanyain dia pengin apa."