Kenapa sih dunia ini lebih banyak tidak adilnya buat hidupku?
Kayaknya pengin aku menderita terus gitu.
Memutuskan untuk pulang siang ini adalah salah satu keputusan yang paling kusesali dalam hidup sejauh ini.
Aku hampir tidak memeriksa ponsel sama sekali di dalam perjalanan pulang tadi. Aku keasyikan ngobrol karena supir taksi online-nya seru.
Begitu sampai di rumah, aku melihat ada mobil lain yang terparkir di belakang mobilku.
Pintu rumahku terbuka. Ada sepatu asing yang berjejer di antara sepatu dan sandal yang kukenali.
Ada aroma parfum asing yang bikin enek saat tercium dari depan pintu masuk.
"Nah, itu dia!" Ayah berseru sambil menunjuk ke arahku.
Dari suaranya, ayah terdengar begitu senang akan kepulanganku.
Selain ayah, ada ibu dan kakakku beserta keluarga kecilnya juga di ruang tamu.
Mataku memicing begitu melihat ada sosok asing di antara anggota keluargaku.
"Prisa, kenalin ini Kak Dimas, temannya Kak Adri."
Laki-laki itu berpakaian rapi. Bahkan terlalu rapi untuk sekadar bertamu ke rumah orang. Dia pakai kemeja warna biru muda lengan panjang yang digulung sampai siku. Kemejanya licin banget. Selicin rambutnya yang pakai banyak minyak.
Mungkin habis melamar kerja?
Tapi ini tanggal merah.
Rambutnya disisir rapi dan klimis. Kelihatannya pakai minyak rambut berlebihan gitu sih, soalnya ada kilau aneh di rambutnya. Geli deh.
Tampangnya sih biasa aja. Cakep, tapi tidak membuat hatiku berdesir.
"Prisa." Aku menyalaminya sebagai tanda hormat sebagai anak dari tuan rumah.
"Dimas," ucapnya dengan suara yang tidak kusuka.
Terlalu pelan dan lembut untuk seorang laki-laki.
Aku hampir menjerit dan terkikik sendiri. Sejak kapan aku punya tipe suara untuk laki-laki? Aku sudah mulai suka suara yang lebih keras dan lantang kayak Harvey.
Walau sering membuat jantungku hampir pindah lokasi.
"Duduk, Pris." Ibu menepuk sisi kosong di sampingnya. "Kamu kucel banget. Nggak mandi?" bisik ibu setelah membauiku yang duduk di sebelahnya.
"Mandi lah. Cuma nggak pakai make up." Pikirku untuk apa pakai make up? Tujuannya kan untuk pulang ke rumah, bukan untuk mampir ke tempat lain.
"Masuk ke kamar dulu gih. Pakai lipstik dikit. Bedakih mukamu biar nggak berminyak."
"Supaya apa sih, Bu?"
"Sebentar ya." Ibu tersenyum pada laki-laki bernama Dimas itu, lalu bangkit dan menyeretku ke dalam kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Chick-Lit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...