Sekarang hari Sabtu.
Biasanya aku memulai hariku dengan bersepeda atau sekedar jalan santai di pagi hari. Tapi karena semalam pulang larut dan nyaris pagi, aku kelelahan dan tidak dapat melakukan kegiatan rutinku di hari libur.
"Anak perempuan pulang malam terus, apa kata tetangga? Ayah harus tegas sama Prisa. Dia masih menumpang di rumah ini, masih tinggal sama kita. Nggak bisa seenaknya begitu, dong." Hening sebentar, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh cangkir. "Prisa udah dua puluh tujuh tahun, seharusnya dia sudah menikah dan punya keluarga sendiri."
Aku terkejut ketika mendengar suara ibuku yang sedang mengobrol bersama ayah di ruang tengah. Kenapa tiba-tiba ibu bicara begitu? Apakah aku memang sudah tidak lagi layak tinggal di rumah ini? Apakah aku benar-benar menjadi beban keluarga ini?
"Maka itu, Ayah mau menjodohkan Prisa. Ide Ta'aruf ditolak sama Ibu, sekarang mengeluh karena Prisa belum menikah dan pulang larut."
"Ayah terlalu memanjakan Prisa, jadinya kalau keinginannya nggak terpenuhi pasti anak itu akan mengamuk. Kalau ayah ngotot untuk daftarin Prisa Ta'aruf, pasti lah dia mengamuk. Kalau memang Ayah mau menjodohkan, jodohkan lah secepatnya. Sebelum usia Prisa bertambah tua. Anak kita perempuan, Yah. Memangnya mau punya anak perawan tua?"
Astaga!
Ini pukul Sembilan pagi di hari Sabtu, ibu dan ayahku berdebat untuk mencarikanku jodoh? Dan tega-teganya ibu berkata seperti itu tentangku?
Tidak tahan lagi, akhirnya pun aku membuka pintu kamar. Bersamaan dengan itu ibu dan ayahku nampak terkejut. Mereka kira, aku masih tidur dan tidak mendengar perdebatan mereka.
"Prisa benar-benar jadi beban untuk keluarga ini ya?" tanyaku dengan suara yang bergetar. Sungguh hatiku benar-benar sakit saat mengatakannya.
"Kenapa kamu tanya begitu?" Ayah kelihatan panik.
"Prisa emang udah nggak muda lagi, Prisa juga kepengin nikah, kok. Tapi, kenyataannya sampai saat ini emang belum ada jodohnya, Bu, Yah. Prisa bisa apa?"
"Makanya kalau cari pacar itu yang benar, Pris," sahut ibuku.
"Yang benar gimana, Bu? Bukannya Ibu yang selalu mengomentari semua pacar Prisa? Dulu, Ibu menolak Arlo, tapi ketika aku dan Arlo putus ... ibu justru bilang lebih baik Arlo daripada Radit. Setiap Prisa punya pacar, Ibu selalu aja nggak setuju dengan berbagai macam alasan. Prisa mesti gimana, Bu?"
"Kamu terlalu banyak pilih, Prisa."
"Mencari pasangan hidup memang harus memilih, Bu. Contohnya Ibu pun memilih untuk menolak Arlo dan akhirnya memilih dia setelah putus dari Prisa. Menikah itu sekali seumur hidup, Prisa nggak mau sampai salah pilih pasangan."
"Kamu harus perbaiki diri, Pris. Mulai lah dengan menutup auratmu," imbuh Ayah. "Coba kamu berhijab, Insya Allah kamu akan mendapat jodoh yang baik kalau penampilanmu juga baik. Terlebih kamu sering pulang malam, kalau kamu berhijab akan lebih baik, bisa mengurangi kemungkinan terjadinya pelecehan di luar sana. Jujur, Ayah khawatir kalau kamu pulang larut kayak semalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Chick-Lit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...