Sesuai dengan rencana, aku dan Harvey sepakat untuk staycation di hari ulang tahunnya. Kebetulan, hotel yang akan kami datangi berada di dalam salah satu mal di Jakarta.
Dengan sengaja, aku tiba lebih dulu dan memilih menunggunya di salah satu restoran jepang.
Dua hidangan sudah kandas, baru lah Harvey tiba dengan senyum mengembang cerah.
"Duh, happy banget yang ulang tahun," sambutku sewaktu dia mendaratkan kecupan ringan di kepalaku sebelum menarik kursi untuk dirinya sendiri. "Happy Birthday!" seruku.
"Makasih," jawabnya gembira "Kamu sengaja ya datang duluan?"
"Iya."
"Aku udah curiga sewaktu kamu bilang jalanan macet banget."
"Hehe, aku nggak mau kamu nunggu, biar aku aja yang nunggu." Aku terkekeh sambil mengunyah pangsit udang terakhirku.
"Terbaik!" Harvey mencubit ujung hidungku kemudian tertawa renyah.
Dia kelihatan senang banget, aku jadi suka. Maksudku, suka kalau dia seperti itu, tidak menyebalkan dan marah-marah.
Setelah membolak-balik halaman buku menu, akhirnya dia memesan hidangan utama dan menyantapnya sendirian. Kelihatannya dia kelaparan banget, mungkin tidak sempat sarapan. Tentu saja dia tidak sempat sarapan.
Harvey kebiasaan bangun siang di hari libur. Biasanya dia langsung menusuk kopi kemasan yang ada di dalam kulkas sebelum perutnya diisi makanan lain. Aku sebal banget, mau protes untuk kesehatannya. Tapi memangnya aku ini siapa? Malu dong kalau nanti dia tanya begitu?
Setelah selesai makan, kami segera menuju loby hotel untuk check in. Tidak disangka, ternyata banyak pengunjung yang antre di loby kecil hotel. Mungkin karena hotel itu sudah cukup viral di media sosial, jadi banyak yang penasaran.
Kamar yang dipilih Harvey berada di lantai empat puluh enam. Selama perjalanan di dalam lift, aku tidak berhenti merapalkan doa dalam hati.
Aku pernah terjebak di dalam lift sebanyak empat kali saat masih kuliah. Kejadian itu membuatku trauma dan takut banget setiap kali menggunakan ruangan besi kapsul itu. Biasanya aku akan lebih memilih menggunakan eskalator jika di dalam mal atau kalau memang terpaksa banget, aku memilih menggunakan tangga darurat, walau harus berhenti beberapa kali untuk mengatur napas dan setelahnya kakiku terasa mau copot.
Maklum saja, sejak pandemi menyerang Negara ini ... banyak banget kaum rebahan bermunculan. Bagaimana tidak? Selama dua tahun belakangan ini masyarakat Indonesia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah. Bekerja dari rumah, sekolah dan belajar dari rumah secara daring.
Kebanyakan sih semua dilakukan di atas ranjang.
Karena pandemi ini, waktu sampai tidak terasa cepat banget berlalu. Pasalnya, keponakanku yang masih sekolah dasar tiba-tiba saja sudah kelas dua, padahal dia sama sekali belum tahu seperti apa ruang kelasnya dan di mana letak meja serta kursinya. Perasaan, belum lama aku menjemputnya di taman kanak-kanak, sekarang seragam sekolahnya sudah berganti putih merah dengan lambang garuda di topinya yang hanya dipakai setiap hari Senin saat upacara bendera.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...