"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi."
.
.
.
Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Apa yang kamu suka dari aku selain perut ini?"
Aku merasa terjebak oleh pertanyaannya. Harvey sebenarnya mau membahas ke arah mana sih?
Dia mengisi gelasnya lagi. Dia juga mengisi gelasku. Tapi sewaktu aku mau minum, hati kecilku melarang. Aku harus tetap sadar malam ini agar tidak melewatkan satu hal kecil pun.
Pasalnya, aku ini pelupa. Dalam keadaan sadar aja sering lupa, gimana mabuk?
Mata Harvey mulai merah dan sayu. Apa dia sudah mulai mabuk?
Tangannya menyentuh pipiku lagi dan rasanya hangat banget. Telapak tangannya hangat kayak sedang orang sakit.
"Kamu belum jawab," rengeknya dengan cara yang tidak biasa.
Aku suka semua yang ada di kamu, Harv. Aku suka jari panjangmu yang menyentuh kulitku, rasanya kayak tersengat lebah.
Aku suka alis tebalmu yang nyaris menyatu satu sama lain. Aku suka saat kamu tertawa, tapi sayangnya kamu lebih sering mengomel.
Aku suka aroma parfum yang bercampur dengan keringatmu. Aku suka saat kamu memanggilku 'Princess' walau terdengat norak banget dan menjijikan.
Aku suka hidung mancungmu. Aku bahkan suka bibir melengkungmu yang sering mengeluarkan kalimat sederhana yang hebatnya bisa merusak mental.
Aku suka mencubit dagumu yang ditumbuhi rambut haluscl, atau sengaja menggesekkan tanganku ke bawah dagumu sampai meremang. Aku suka memandangimu berjam-jam ketika kamu fokus pada sesuatu.
"Aku suka... semua yang ada di kamu."
Maaf ya, aku terang-terangan banget. Persetan lah perempuan harus nunggu ditembak.
Dia tertawa dan menggeleng. "Bullshit," bisiknya di telingaku. Lalu dia menggosokkan hidungnya ke leherku.
Tubuhku seperti disetrum. Meremang sampai kram dan terasa kaku di beberapa saraf.
Kepalaku menunduk—menatap ke bagian bawah celana panjangku yang sedari tadi kupilin sampai lecek.
Dia mengambil dan mengisi gelasnya lagi. Menyodorkannya padaku. Aku menggeleng dan bilang, "udah cukup. takut muntah."
Dia mencebik, dan tetap memaksaku untuk minum sedikit lagi sambil menekan tengkukku. Akhirnya aku minum, sedikit banget. Mungkin tidak sampai ke tenggorokan tapi cukup membakar lidahku.
Selanjutnya dia menghabiskan sisa whiski di dalam gelasnya lalu menukar gelas yang dipegangnya dengan botol whiski yang hampir habis. Dia meminumnya langsung dari botol seperti pemabuk yang sering kulihat di film.
"Kalau nggak salah dengar, kemarin kamu bilang sayang aku?" tanyanya setelah meletakkan botolnya di lantai. Aku mengangguk pelan. Dia mendekatkan wajahku ke wajahnya. "Aku juga," katanya setengah berbisik.