Konyol !
Semua kekonyolan ini membuatku mulai frustasi.
Aku tidak merespon Harvey dan memilih untuk memperhatikan kendaraan yang berlalu di jalan raya. Sekarang sudah tengah malam, tapi kota ini belum juga tidur.
Kulirik Harvey, dia sepertinya sedang memejamkan mata dengan kepala yang bersandar pada sandaran sofa dan posisi menengadah ke atas. Mungkin dia sedang menikmati dunianya yang sudah mulai berputar karena alkohol.
Untuk seseorang yang takut ketinggian sepertiku, melihat pemandangan dari lantai empat pulih lima kurang dari sepuluh menit saja sudah membuat pusing dan mual.
Oleh karena itu, aku mengalihkan kebosananku pada media sosial. Niat hati pada awalnya ingin mengunggah foto lampu kota di malam hari, tapi aku justru terjebak pada sebuah foto yang diunggah oleh Radit.
Aku nyaris saja menjatuhkan ponsel sewaktu melihat foto yang diunggah Radit pada laman media sosialnya. Foto dirinya bersama seorang perempuan yang ... aku tidak tahu harus menggunakan kalimat seperti apa untuk menggambarkannya.
Foto yang dia unggah cukup membuatku terkejut hingga tubuhku gemetar dan mataku perlahan memanas.
Kuremas benda pipih di tangan kananku kuat-kuat hingga telapak tanganku terasa sakit. Kuatur napasku agar dada tidak terlalu sesak.
Saat satu tetes air mataku jatuh, aku segera berlari ke kamar mandi.
"Kamu kenapa, Pris?" Harvey nyaris berteriak, sepertinya dia terkejut akan pergerakanku yang mendadak.
"Sakit perut!" sahutku setelah mengunci pintu kamar mandi.
Kenapa rasanya begitu sesak melihat foto mesra Radit bersama perempuan lain? Bukankah ini semua keinginanku? Aku yang menginginkan hubungan casual dengannya? Dan bukankah seharusnya aku tidak sehancur ini melihat unggahan foto mesranya bersama perempuan lain karena sejak awal, aku tahu kalau dia dekat dengan seseorang?
Tuhan!
Tapi ini sungguh sakit!
Air mataku menetes lebih banyak saat kembali kubuka laman media sosialku yang langsung menampilkan beranda profil Radit. Dalam unggahan fotonya itu, dia menyematkan emoji hati berwarna hitam dalam kolom keterangannya.
Kakiku mendadak lemas sehingga tubuhku meorost ke lantai. Tidak peduli akan kebersihan lantai kamar mandi hotel ini. Tangan kiriku bergerak untuk meraih handuk kecil dari atas wastafel yang mana segera kusumpalkan pada mulutku agar Harvey di luar sana tidak mendengar jeritan tangisku di dalam sini.
Setelah puas menangis, aku segera menghubungi Tabita. Dia adalah satu-satunya teman yang kuceritakan tentang rencana Radit akan melamarku pada bulan Januari mendatang.
"Hai, Pris!" sambut Tabita riang. Aku yakin banget kalau dia baru saja menghabiskan segelas kopi kesukaannya, karena jika tidak ... apakah ada manusia normal yang riang pada saat menerima panggilan telepon di tengah malam?
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...