"Pacarmu itu suka ngasih barang ya?" Pertanyaan ibu pagi ini membuatku mengerutkan kening. "Setelah HP, sepatu, kalung, lalu sekarang tas?" Ibu menghela napas. "Hati-hati. Bisa jadi itu trik untuk menarikmu supaya—"
Kok, ibu bisa tau, sih?
Kuletakkan sendok dengan kesal sampai berdenting di atas piring. Selera makanku hilang. Padahal nasi uduknya enak.
"Lihat aja, kamu sekarang juga jadi tempramental. Suka melawan dan mengamuk kalau diberi nasihat."
"Bu." Aku memejamkan mata sebentar. Mencoba untuk memilih kata serta nada yang sopan. "Nggak boleh suudzon. Harvey emang baik. Dia tulus, nggak pamrih."
"Semua laki-laki di bumi ini juga keliatan tulus tanpa pamrih kalau lagi ngejar perempuan yang dia suka." Ibu berjalan ke dapur. Lalu kembali ke ruang makan membawa kentang tumbuk yang masih panas dengan asap mengepul. "Nanti kalau udah bisa didapat, hilang semua itu. Bisa-bisa justru dilepeh." Ibu membuat gerakan pengin muntah.
"Harvey nggak gitu."
Ibu mendecak. "Ibu hidup lebih lama dari kamu. Maksud dia beliin kamu barang-barang begitu buat apa? Yang dia kasih bukan barang murah, Pris."
Aku tau. Aku tau, kok semua barang darinya tidak ada yang murah. Tapi mahal dan murah itu relatif. Mungkin menurut Harvey tidak semahal menurutku. Contoh, kemeja yang tempo hari dia beli menurutnya worth it, tapi menurutku uang sebanyak itu bisa untuk membeli kemeja selusin.
"Ibu tau dari mana?"
"Ibu belum buta. Kamu senang dikasih barang-barang begitu?"
Senang. Tapi tidak juga. Aku pun merasa sedikit risih dan segan. Tapi kalau menolak, Harvey bisa marah dan menganggapku tidak menghargainya. Aku juga merasa punya hutang besar padanya.
"Siapa yang suka kasih barang-barang?" Ayah datang dari arah kamar.
Mati aku!
Aku menunduk. Tidak mau melihat siapapun, selain nasi udukku yang masih sisa dan sendokku yang terbalik di atasnya.
"Kamu belum putus?" Ayah mengembuskan napas berata, lalu menggeret kursi sampai membuatku mengernyit karena suaranya. "Susah juga ternyata ngomong sama kamu itu," kata Ayah sambil mengaduk kopinya.
Ibu bolak-balik dari dapur ke ruang makan. Tidak tau apa yang dilakukannya.
"Jadi perempuan harus punya harga diri." Kalimat yang diucapkan Ayah kok sakit banget sih di dengarnya? "Jangan mau dibelikan banyak barang. Kalau ternyata dia punya maksud lain gimana? Emangnya kamu mau ikut dia masuk k—"
"Yah." Aku menggigit pipi bagian dalam agar tidak mengamuk pagi ini. "Katanya Ayah paham agama. Kenapa suudzon sama orang lain?"
Ayah diam saja. Sesekali melihat ke arah jendela sambil menyesap kopi. Sepertinya sedikit tersentil dengan perkataanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...