Seminggu yang lalu, Harvey memberi kabar kalau dirinya positif covid-19 dengan varian baru. Aku cukup terkejut, karena pasalnya selama ini dia masih Work From Home (WFH) dan hanya bertemu denganku, juga orang-orang di indekosnya itu pun sangat jarang.
Lalu, kenapa bisa dia terpapar virus itu?
Memang sih, beberapa hari sebelum kabar itu, aku sempat mencurigai Harvey pergi ke salah satu kelab malam. Tapi, curigaku tidak memiliki bukti kuat, karena aku hanya mengira-ngira dari jarak yang kulihat di Tinder.
Itu hanya salah satu bentuk kecurigaan dan overthinkingku aja. Karena menurutnya, dia tertular oleh salah satu penghuni indekos yang letak kamarnya berada tepat di belakang kamar Harvey.
Selain terkejut karena kabar itu, aku juga terkejut karena ternyata Harvey rewel banget saat sakit seperti ini. Dia jadi mirip ayahku yang rewel setiap sakit di rumah. Seolah semua orang harus tau kalau dirinya sedang sakit.
Ditambah, semua orang di dunia ini tahu bagaimana hebohnya berita tentang covid-19 yang sudah banyak merenggut nyawa. Paniklah laki-laki itu, takut meninggal di indekos dan nggak ada yang tau.
Dalam sehari, Harvey bisa sampai lebih dari lima kali meneleponku hanya untuk menanyakan hal-hal yang nggak penting. Mulai dari menanyakan jenis obat, vitamin yang bagus, makanan yang boleh dikonsumsi dan yang enggak boleh.
Tapi pada akhirnya, jawabanku dari semua pertanyaannya itu nggak dipakai. Dia tetap memaki jawaban dari dokter dan dirinya sendiri. Menyebalkan memang sifat bawaannya sejak lahir sepertinya, jadi sudah melekat dan sudah dihilangkan.
"Kenapa lama banget, sih, angkat teleponnya? Kamu lagi ngapain, sih?" omel Harvey.
Jujur saja, aku mulai muak dengan sikapnya belakangan ini yang menyebalkan dan random banget. Kalau dulu, Radit moody banget, gampang unmood. Sekarang Harvey, yang moody dan rewelnya minta ampun.
"Nggak dengar, ponselku di silent. Ada apa?"
"Untuk apa ada nada dering kalau ponselmu di silent?"
"Aku kan lagi kerja, Harv. Ada apa, sih? Nggak usah ngomel-ngomel."
"Ada apa? Aku lagi sakit, bukannya tanya kabar malah nanya ada apa. Tau ah! Males."
"Lah kok jadi marah? Tadi aku abis ngobrol sama atasanku, beliau minta rekomendasi kado hari pernikahan gitu, kebetulan hari ini pas Valentine juga momennya."
"Hari ini Valentine?"
"Iya. Hari kasih sayang, harinya baik-baik, jangan ngomel." Aku sengaja memberi jeda, untuk mendengar respon Harvey. Tapi dia diam saja, sepertinya sudah jelas kalau hubungan kami hanya sebatas FWB.
Harusnya kalau benar FWB, dia nggak perlu rewel kayak begini dong ya? Dan nggak perlu marah ketika aku lama mengangkat telepon masuk darinya. Iya kan?
Ah, nggak jelas!
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...