15 || Tempat Biasa

156 34 4
                                    

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki 'Tempat Biasa'

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki 'Tempat Biasa'.

Dari sejak pertama kali kubuka pintu kaca, Mas Jeje sudah tersenyum dari balik mesin kopi. Beberapa pramusaji yang sudah mengenalku pun ikut tersenyum dan menyambutku dengan kalimat sambutan khas 'Tempat Biasa'.

"Selamat sore, Prisa," sapa Mas Jeje setelah dia menuangkan krimer pada kopi buatannya.

"Sore, Mas Jeje." Aku berhenti tepat di depan meja barista. Mataku memperhatikan sekeliling, mencari sosok laki-laki itu.

"Cokelat panas marshmallow?"

"Hazelnut latte aja deh, Mas."

"Tumben ngopi, biasanya kalau mau lembur doang pesannya kopi," kekeh Mas Jeje sembari menyiapkan pesananku. "Dingin?"

Aku butuh terjaga untuk menghabiskan sisa hari ini.

"Iya, dingin," jawabku singkat, karena mataku masih sibuk mencari keberadaan laki-laki yang telah kujanjikann untuk bertemu di tempat ini.

"Hai." Sebuah tangan menyentuh bahuku. Suara itu membuatku memejamkan mata sebentar sebelum memutar tubuhku.

Dia.

Laki-laki itu.

Berdiri tepat di hadapanku dengan postur tubuhnya yang tinggi, membuatku harus mendongak untuk dapat melihatnya tersenyum setelah menurunkan maskernya sampai dagu.

"Hey! Aku kira, kamu nggak jadi ke sini."

"Aku udah sampai dari tadi, habis dari toilet."

"Dit, ini pesanan kopinya mau dibawakan atau—" Belum sempat Mas Jeje menyelesaikan kalimatnya, cangkir kopi di atas meja barista sudah lebih dulu diambil oleh Radit.

"Makasih ya, Mas Jeje," ujar Radit kemudian menyeruput kopinya sambil berdiri.

"Sama-sama, Dit. Kok, tumben pesan yang light?"

"Tadi siang udah ngopi, Mas. Saya kan, nggak bisa ngopi banyak-banyak, bisa nggak tidur nanti malam," kekeh Radit dan Mas Jeje pun ikut terkekeh.

Radit dan Mas Jeje sudah saling mengenal, padahal mereka baru bertemu dua kali. Tapi, karakter Mas Jeje yang friendly dan mudah akrab dengan orang lain, ternyata diterima baik oleh Radit yang agak pemilih soal lawan bicara. Sejak itu, setiap kali ke 'Tempat Biasa', pasti Mas Jeje akan bergabung denganku dan Radit untuk menceritakan perkembangan tempat usahanya ini.

Pesananku sudah jadi. Aku membawa gelas minumanku ke sebuah meja yang berada di sudut ruangan. Meja yang selalu disisakan Mas Jeje untukku.

Aku tersenyum sewaktu Radit menarik kursinya dan duduk di hadapanku.

"Kenapa senyum-senyum begitu?" tanyanya dengan kening yang berkerut.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa. Kamu udah lama nunggu ya? Maaf, tadi agak macet."

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang