23 || Sumpah Prisa

125 25 7
                                    

"Kayaknya aku nggak bisa deh, Bit," ucapku sebagai awal pembicaraanku dengan Tabita di telepon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kayaknya aku nggak bisa deh, Bit," ucapku sebagai awal pembicaraanku dengan Tabita di telepon.

"Nggak bisa gimana? Maksudnya nggak bisa apa?"

"Nggak bisa terus-terusan sama Harvey yang nggak jelas dan nyebelin parah."

Tabita menghela napas. "Emangnya, hubunganmu sama dia sejauh apa sih?"

"Hm, nggak tau. Sejauh ini kurasa kita mungkin ... friends with benefits?"

"Itu jawaban atau pertanyaan, Pris?"

Kali ini aku yang menghela napas karena aku sendiri tidak tahu disebut apa hubunganku dengan Harvey ini. "Semalam, aku diusir sama dia."

"Hah? Serius? Diusir gimana? Kok bisa? Cerita!"

"Ini aku lagi cerita kan, Nobita."

"Tabita!" Dia mendecak sebal. "Sialnya umurmu lebih tua dariku, jadi nggak sopan kalau mau mengumpat."

Aku tersenyum sembari menjepit ponselku di telinga dan bahu kiri. Tangan kanannku meremas kertas yang kemudian kulemparkan ke dalam keranjang sampah. Membuat Tabita kesal adalah sebuah kesenangan tersendiri untukku. Dia perempuan Jogja yang sopannya kelewatan, terlebih usianya lebih muda dariku yang mana membuatnya seringkali menahan diri mati-matian agar tidak mengumpatiku saat dibuat kesal.

"Menurutku, ini salah paham aja sih, Bit. Dia dan egonya yang setinggi langit, aku dan—"

"Ego taurusmu," sahut Tabita.

"Sialan!" Aku tertawa karena apa yang dia katakana barusan, ada benarnya. "Aku nggak ada harga dirinya banget semalam, Bit. Sikap dia yang begitu membuatku ingat Arlo."

"Arlo lagi." Tabita mengunyah keripik, membuat suara berisik yang cukup mengganggu.

"Bit, jangan sambil makan. Berisik, ih!" keluhku dan dia justru meremas bungkus keripiknya dengan sengaja membuat suara berisik menjadi dua kali lipat lebih mengganggu dari sebelumnya.

"Terus? Ayo lanjut! Jadinya, kamu nggak bakalan ketemu sama dia lagi setelah ini?"

"Niatnya sih, gitu."

"Niat itu harus diiringi dengan usaha, Pris. Gimana sama kenyataannya?"

"Nggak tau." Aku mengedikkan bahu kemudian menyandarkan punggungku pada kursi kerja. "Dia belum menghubungiku lagi, terakhir semalam, minta maaf tapi nyebelin."

"Hubungan orang dewasa tuh emang rumit ya. Minta maaf dibilang nyebelin, nggak minta maaf juga salah."

"Duh, gimana ya jelasinnya. Tapi benar sih, rumit. Padahal cuma friends with benefits tapi bikin pusing kepala." Aku menghela napas panjang banget.

"Walaupun aku belum pernah pacaran nih, Pris. Tapi kayaknya friends with benefits nggak sampai ke tahap marah karena pertanyaannya nggak dijawab deh, nggak sampai tahap ngusir tapi rela kehujanan kayak drama India." Tabita cekikan. Dia puas banget mengejekku kali ini.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang