"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi."
.
.
.
Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tidak banyak yang kami bicarakan, tidak juga banyak yang kami lakukan. Harvey sibuk dengan ponselnya yang dipakai untuk memotret sejak tiba di kamar.
Sedangkan aku ... sibuk dengan pikiranku sendiri yang aneh hari ini.
Sejak bangun tidur pagi tadi, aku tidak berhenti memikirkan apa yang sebenarnya terjadi padaku dan Harvey? Maksudku, aku tidak mengerti dengan hubungan yang sedang kujalani bersama Harvey saat ini.
Sebutan apa yang pantas untuk hubungan ini?
Terkadang, Harvey itu memperlakukanku layaknya seseorang yang penting dalam hidupnya. Dan seringnya, dia memperlakukanku layaknya seorang figuran dalam hidupnya, bahkan seperti tidak pernah saling kenal.
Mengingat obrolanku dengan Melly beberapa waktu lalu, rasanya ... ini semua cukup mengganggu. Usiaku sudah bukan lagi waktunya untuk bermain-main dengan perasaan dan harusnya Harvey juga begitu.
Kulirik laki-laki itu, dia menoleh sebentar untuk mengulas senyum yang dipaksakan setelah itu kembali menyibukkan diri dengan ponselnya.
Apakah aku harus mempertanyakan status hubungan kami? Ah, tidak! Harvey bukan tipe laki-laki yang bisa diajak berdiskusi.
Lagi pula, sejauh ini aku merasa cukup nyaman, setidaknya dia datang di waktu yang tepat pada saat seharusnya aku patah hati karena Radit.
Benar begitu, kan?
Bicara soal Radit. Sebentar lagi Januari, apakah benar dia bakalan melamarku sesuai janjinya? Apakah aku terlalu jahat karena masih memikirkan itu di saat sedang bersama laki-laki lain yang ... entah lah, aku dianggap apa olehnya?
Aduh, kenapa hidupku selalu saja rumit begini, sih?
"Eh iya!" Hampir saja aku lupa memberikan hadiah untuknya. Harvey mengangkat wajah, matanya mengikutiku bergerak pada saat aku berjalan menghampirinya dengan hadiah di tanganku. "Selamat ulang tahun lagi," ucapku riang—mencoba untuk mencairkan suasana yang cukup dingin ini.
"Astaga, kenapa kasih hadiah?" Dia mendecak saat menerima hadiahku, dasar laki-laki menyebalkan! "Makasih, ya." Harvey menarikku, lalu mencium pipi kiriku. "Kamu beneran beli tas? Kenapa nggak disimpan aja sih, uangnya?"
"Tolong terima hadiahku tanpa protes," pintaku dengan nada sehalus mungkin namun ada penekanan di sana.
Kuusap pelipisnya, lalu dia menganggukkan kepala.
Aku berdiri di antara kedua kakinya, berpegangan pada bahunya saat dia sudah meletakkan hadiah pemberianku ke samping nakas. Kedua tangannya berada di pinggangku dan mata kami saling bertemu.
Ada yang menggelitik perutku. Ada yang berjalan di punggungku. Dadaku bergemuruh. Kurasa di dalam tubuhku sedang ada hajatan yang menggunakan jasa organ tunggal. Rasanya benar-benar heboh, debar jantungku mirip sound organ tunggal hajatan yang bikin gemetar.