47 || Masalah Otak

92 17 0
                                    

Keputusanku untuk menjalani hubungan abu-abu ini dengan Harvey benar-benar seperti uji nyali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keputusanku untuk menjalani hubungan abu-abu ini dengan Harvey benar-benar seperti uji nyali. Kenapa ya, ada manusia sepertiku yang dikasih hidup tenang malah memilih hidup yang bikin pusing?

"Laki-laki dewasa emang begitu, Pris."

Harvey dewasa? Secara usia mungkin iya, tapi ... secara tingkah laku dan beberapa hal lainnya, menurutku masih jauh dari kata 'dewasa' deh.

"Apalagi dia kan laki-laki batak, pasti dari kecil di didik keras sama orangtuanya. Pacarku pun begitu," ucap Arindi disela kunyahannya.

"Aku nggak paham maksudmu, atau kayaknya otakku yang eror, nggak bisa mencerna dengan baik ucapanmu."

"Gini." Arindi meletakkan sendok makannya sampai berdenting saat jatuh ke atas piring. Dia meneguk air, lalu menatapku serius. "Dari awal kan kamu tau, kalau keputusanmu ini ada risikonya. Salah satunya, keyakinan kalian itu jelas-jelas dari awal udah saling tau kalau beda kan?"

Aku mengangguk, lalu menggeleng. "Masih belum paham."

"Dari awal kamu kenal, kamu udah tau kalau umurnya jauh sama kamu, yang mana pasti pola pikirnya, setiap tindakan dan banyak hal lainnya pasti berbeda sama yang seumuran kita."

"Aku nggak tau kalau beda umur kita sejauh itu, Ndi. Dia bohong."

"Bohong gimana?"

"Di Tinder, umur dia tiga puluh tahun."

"Lalu?"

"Aslinya tiga puluh tujuh tahun, baru ulang tahun yang ke tiga puluh delapan bulan Desember lalu, Ndi. Penipuan nggak sih?"

"Wah, speechless sih kalau dari awal aja udah bohong. Hmm." Arindi kelihatan sedang berpikir. "Tapi, nggak masalah sih, Pris. Aku sama pacarku beda umurnya juga jauh. Enam tahun."

Aku tertawa. "Aku sama Harvey beda sebelas tahun, Arindi."

"Oh iya ya." Arindi ikut tertawa. "Sugar daddy dong? nggak apa-apa, lagi musim."

"Masa daddy, sih? Kan, dia belum nikah."

"Dari mana kamu tau?" Aku diam. "Ya udah berarti sugar uncle."

"Ih, geli banget."

Ponselku berbunyi dan menampilkan nama Harvey di layar. Arindi langsung tersenyum dan mengangkat alisnya. "Telepon dari uncle."

"Ndi!" desisku sambil mendelikkan mata.

"Ndi?" Mendengar suaranya, aku langsung bisa membayangkan ekspresi Harvey.

"Hai, Harv!"

"Kamu lagi sama siapa? Ndi? Siapa? Kamu di mana?"

Pengin banget kubalas 'ya elah', tapi mana mungkin. Sama saja aku mengajak ribut raja iblis.

"Oh, ini ... aku lagi makan siang bareng Arindi. Di Tempat Biasa."

"Arindi? Siapa lagi?"

"Arindi temanku, ya ampun. Yang indekosnya dekat kamu."

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang