Drama antaraku dengan Harvey di Tempat Biasa, membuatku tidak tenang sepanjang hari. Aku bahkan sampai dua kali melakukan kesalahan pada saat sedang membuat laporan gaji karyawan bulanan.
Setelah membuka blokir kontak Harvey di ponsel, hampir setiap menit aku mengecek ponselku—berharap Harvey mengirimi pesan atau menghubungiku untuk meluapkan kekesalannya.
Secara teknis, ini memang kesalahanku. Kesalahan yang kulupakan karena memang ... aku pelupa. Arindi dan Rifa seringkali jengkel setiap kali aku melupakan hal-hal kecil yang terkadang cukup penting.
Padahal saat masih kecil, aku memiliki daya ingat yang luar biasa paling lama dibandingkan dengan anggota keluargaku yang lainnya. Sehingga, seringkali ibuku mengajakku untuk berbelanja sebagai pengingat apa saja yang hendak dibeli olehnya tanpa membuka catatan tangan.
Mungkin, seiring bertambahnya usia dan beban hidup yang semakin berat membuat daya ingatku mulai terkikis dan melemah seiring berjalannya waktu.
Ah, aku sudah tua rupanya.
Aku bahkan lupa, sejak kapan sudah berada di halaman parkir indekos 15? Aku terkesiap saat sebuah bola plastik menghantam pintu mobilku. Anak perempuan yang biasa menyapaku setiap kali datang ke sini, menghampiri dan mengetuk kaca jendela.
"Tante cantik, maaf ya temanku nggak sengaja," ucapnya dengan lantang tanpa rasa takut.
"Iya, nggak apa-apa. Hati-hati ya mainnya."
"Oke, Tante." Anak perempuan itu kembali bermain bola bersama dua anak laki-laki yang sepertinya lebih muda darinya.
Aku melepaskan seatbelt dan menghela napas sembari menatap wajahku melalui kaca spion tengah. Mungkin saja kedatanganku ke sini akan disambut kurang baik oleh Harvey, mengingat dia pasti kecewa dan marah, juga dia tidak suka jika aku datang mendadak tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
Masa bodoh! Aku tidak suka menumpuk masalah, aku tidak suka keresahan. Aku akan meminta maaf padanya, terserah jika dia menolak untuk memaafkanku atau bahkan mengusirku lagi seperti malam sebelumnya. Setidaknya, niatku baik.
Lorong yang gelap adalah ciri khas indekos 15. Dari banyaknya indekos di kawasan ini, indekos 15 terbilang cukup tua. Mulai dari bangunan hingga interiornya, tapi indekos ini jauh lebih nyaman dibandingkan indekos Arindi yang serba minimalis dan canggih.
Sandal yang biasa digunakan Harvey untuk keluar, tidak ada di depan pintu. Kuketuk pintu kamarnya dua kali, tidak ada jawaban. Aku berjalan ke sisi lain luar kamar, AC-nya menyala, music di komputernya juga masih terdengar samar-samar dari luar jendela. Tapi, aku tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan.
Kuraih ponsel untuk menghubunginya. Namun, sebuah pintu di ujung lorong yang terbuka, membuatku menoleh. Harvey berdiri di ambang pintu dengan handuk menggantung rendah di pinggangnya. Rambutnya basah dan aroma sabun antiseptik yang biasa dia gunakan, menyeruak masuk ke dalam indera penciumanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...