6 || Tabita dan Pertemuan Kedua

214 36 17
                                    


"Pris, jangan melamun," tegur Tabita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pris, jangan melamun," tegur Tabita. Suara kendaraan di belakangnya membuatku terkesiap. 

Tabita adalah teman virtual yang kukenal dari salah satu acara seminar online kepenulisan. Pada saat itu, aku ikut serta dalam seminar salah satu penulis yang kusukai dan bertemu dengan Tabita di sana. 

Obrolanku dengannya berlanjut setelah seminar usai. Bahkan kami sekarang menjadi teman yang cukup dekat, walau hanya virtual. Dia tinggal di Jogja, sedangkan aku di Jakarta. Dan pandemi ini membuatku kesulitan untuk pergi ke luar kota. 

"Kamu lagi di mana? Kok, ramai banget."

"Malioboro."

"Asik banget. Ngapain?"

"Mengantar ibuku. Kamu di mana? Nggak kerja?"

"Aku sedang istirahat makan siang." Kuangkat cangkir kopiku ke depan layar laptop. 

"Makan siang atau ngopi? Aku nggak lihat adanya makanan di sana." Tabita mengerutkan keningnya.

"Aku nggak lapar. Kerjaan banyak, jadi butuh kopi."

Dia mengangguk dua kali, kemudian berjalan cepat. Aku menyeruput kopiku ketika kamera ponselnya mengarah ke langit Jogja yang cerah. 

"Akhirnya." Tabita menghela napas. Dia bersandar pada sebuah dinding di belakangnya. "Berisik nggak?" Aku menggeleng, kemudian meletakkan kembali cangkir kopiku ke atas meja. "Gimana? Jadi ketemuan kemarin?"

"Jadi."

"Terus? Cerita dong!" Dia kelihatan antusias. 

Aku berjanji pada Tabita akan bercerita mengenai pertemuanku dengan laki-laki dari aplikasi kencan online. Tapi, kemarin aku pulang larut malam, tidak jadi menginap di indekos Arindi dan ... sampai di rumah langsung tidur.

"Bukan tipeku, tapi oke-lah."

"Berlanjut?"

Aku menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. "Nggak tau, deh. Kayaknya enggak."

"Kenapa? Karena dia bukan tipemu? Nggak tampan? Jelek?"

"Bukan itu. Aku nggak bilang dia jelek atau nggak tampan."

"Aku cuma nebak."

"Kami beda, Bit."

"Beda gimana? Beda kelamin? Ya memang, kan?"

"Beda keyakinan," kuembuskan napas lagi lewat mulut. Kemudian melihat sekeliling resto yang tidak terlalu ramai. Untung saja. 

"Duh, kalau kayak gitu susah, Pris. Sebaiknya nggak usah dilanjut, deh."

"Tapi, aku penasaran, Bit."

"Kebiasaan, Taurus ini kalau penasaran biasanya nggak pakai otak." Gantian Tabita menghela napas. "Kalian ketemu di mana?"

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang