Ya ampun! Gemes banget!
Beruntung banget sih!
Aaaaaaaaa! Aku juga mau punya pacar kayak pacarmu.
Pacarmu ada kembarannya nggak sih? Mau satu dong!
.
.
.
Begitulah kira-kira respon lebay dari beberapa teman online setelah melihat story yang kubagikan dalam status whatsapp. Aku membagikan foto seluruh hadiah dari Harvey yang membuatku tidak habis pikir sampai detik ini.
Bukan cuma itu, beberapa hari kemudian akhirnya kami bertemu setelah Harvey melakukan swab test, memastikan dirinya sudah negatif covid-19.
Aku datang ke indekos untuk menemuinya dengan perasaan yang senang karena sejak valentine lalu, dia tidak terlalu menyebalkan.
Belum lama sampai, Harvey berjalan menuju lemari pakaiannya. Dia mengambil sesuatu dari dalam tas kerja."
"Kemarin aku beli parfum, kalau nggak salah mengingat, ini parfum yang biasa kamu pakai."
Sumpah?! Harvey memberiku parfum kesukaanku. Ya ampun!
"Astaga! Kenapa sampai dua begini? Harv, kamu tau dari mana kalau—"
"Aku pernah liat parfummu di dalam tas, udah habis tapi masih dibawa-bawa." Dia mengejek dengan ekspresi paling menyebalkan yang cuma dimiliki olehnya. "Yang satunya lagi kubeli karna ... pink. Your favorite color and hope you like the scent, lebih sedikit musky aromanya dari parfummu. Aku sih, suka."
Ini baru! Baru ada lelaki yang mau ke section perempuan untuk beli parfum. Kok bisa? Dia itu kan gengsinya tinggi banget. Kok mau? Dan ... kok bisa kepikiran sampe sana?"
Aku menyemprotkan sedikit parfum dengan botol warna magenta yang dibilang warna pink oleh Harvey ke bagian urat nadi tanganku.
Selera Harvey memang tidak salah, sih. Wajar kalau pilihan parfum untuk dirinya sendiri pun tidak pasaran dengan kebanyakan laki-laki pada umumnya.
"Makasih ya, aku jadi enak nih dikasih hadiah banyak banget." Aku menghampirinya dan memeluknya dari belakang, seperti yang biasa kulakukan setiap kali dia duduk di kursi kerjanya.
"Sama-sama ya." Dia tersenyum, dan tangan kanannya membuka laci meja. "The last one. Sebenarnya ini gift dari kantor sih, tapi untuk kamu aja."
"Jangan bercanda, Harv. Udah terlalu banyak kamu kasih aku hadiah."
"Jadi, ditolak nih? Aku sedih loh." Dia manyun.
"Ya ampun. Iya, iya. Aku terima." Harvey terkekeh lalu mencium pipiku, setelah itu dia menggigit pipiku dengan gemas sampai aku memekik. "Harvey! Ampun! Sakit banget," keluhku sambil mengusap pipi, tapi dia justru tertawa geli.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...