Aku sudah pernah mengatakan kalau takut kegelapan, bukan?
Sayangnya, aku tidak mengatakan itu pada Harvey setelah kudengar pernyataannya yang tidak bisa tidur jika lampu kamar tidak padam.
Sungguh perbedaan yang bertolak belakang.
Berhubung aku seorang tamu di sini, mau tidak mau ... aku yang mengalah.
Tapi ternyata, aku jadi tidak dapat tidur sama sekali. Berjuang memaksakan mataku untuk terpejam, pada akhirnya gagal dan gagal lagi. Aku gelisah banget di tambah mendadak perutku sakit sehingga aku berguling-guling di atas ranjang sampai membuat Harvey terbangun pukul tiga pagi.
"Kenapa, Pris?" tanyanya dengan suara serak yang membuatku menelan ludah.
Aku curiga kalau dia memiliki sihir dalam suara dan sorot matanya.
"Aku nggak bisa tidur."
Kudengar suara pergerakan laki-laki itu yang nampaknya kini tengah duduk di sofa dan perlaha-lahan bangkit untuk menyalakan lampu. "Kamu nggak bisa tidur kalau gelap, ya?" Matanya menyipit sewaktu cahaya di dalam kamar sudah terang, dia lucu banget!
Aku mengangguk. "Maaf ya, jadinya kamu bangun gara-gara aku."
"Nggak apa-apa," jawabnya sambil mengusap mata.
Rasa sakit perutku kian bertambah, aku kenal banget dengan rasa sakit ini. Ini adalah gejala datang bulanku. Aku merintih dan memeluk perutku sendiri sewaktu rasa sakit itu menyerangku lagi.
"Eh, kamu kenapa?" Harvey mendekat. Wajahnya yang semula masih nampak mengantuk, berubah menjadi khawtair.
"Sakit perut," ringisku.
"Datang bulan?"
"Kayaknya." Kuulurkan kedua tanganku padanya, dia meraih tanganku dan membantuku bangkit dari ranjang.
"Mau ngapain?"
"Pakai pembalut."
"Kamu bawa pembalut?"
"Bawa dong."
"Bisa jalannya?"
"Aku datang bulan, bukan lumpuh, Harv."
"Aku cuma tanya, Pris."
Sewaktu aku memeriksa di dalam kamar mandi, darah datang bulanku memang belum keluar. Untung saja. Tapi, untuk berjaga-jaga aku tetap memakai pembalut. Siapa tahu, dengan begini aku bisa tidur nyenyak.
Keluar dari kamar mandi, Harvey tidak ada. Ke mana perginya laki-laki itu? Ponselnya ada di meja kerja, tapi ....
Pintu kamar dibuka, Harvey datang membawa segelas air teh hangat. Aku dapat melihat jelas kepulan asapnya.
"Minum ini." Aku mengerutkan kening sewaktu dia memberikan gelas air teh hangat itu padaku. "Ayo, diminum! Untuk mengurangi kram perut."
"Makasih ya." Kuterima teh hangat itu dan dia mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...