Pikiranku semakin kacau perihal datang bulan yang tidak biasanya terlambat seperti ini. Aku mencoba beberapa cara yang kutemukan dalam internet untuk mempercepat datangnya si bulan. Tapi, masih saja belum ada tanda-tanda kedatangannya hingga hari ini.
Harvey sudah berisik sejak berhari-hari lalu menyarankanku untuk segera membeli alat tes kehamilan. Tentu saja aku tidak mau. Aku yakin banget kok, kalau sebentar lagi pasti bulanku datang. Mungkin saja dia terjebak kemacetan dalam perjalanan.
Efek dari beban pikiran yang tidak menentu seperti ini membuat waktu tidurku berantakan. Setiap pukul dua pagi akau terbangun, bukan karena Mocca yang menduduki wajahku atau mengibaskan ekornya seperti biasa. Melainkan karena kram perut yang menyiksaku. Seharusnya kalau sudah kram perut seperti ini, tandanya sudah semakin dekat dengan datangnya si bulan.
"Kok, kamu kayaknya santai banget sih, Pris?" Ucapan Harvey dalam sambungan telepon membuat kedua mataku ingin melompat keluar saat mendengarnya.
Bagian mana dari kata 'santai' yang di maksud? Dia kira, aku tidak stres memikirkan perihal datang bulan selama beberapa hari belakangan ini? Bertukar posisi saja denganku, mau tidak? Seenaknya saja kalau bicara.
"Santai gimana, sih, maksudmu? Aku juga mikirin, Harv. Tapi memang belum, mau gimana?"
"Tes dong, Prisa. Masa sih, harus kuingatkan terus kayak anak kecil yang dingatkan minum obat."
"Aku nggak mau, Harv. Aku takut. Lagi pula, aku yakin banget kok ini cuma mundur aja dari tanggal sebelumnya. Aku yakin pasti datang bulan kok."
"Kamu juga bilang begitu dua minggu yang lalu, Pris. Ini udah dua minggu loh, ayo dong coba tes supaya aku tenang."
"Harv, kalau aku sampai hamil pun nggak akan nuntut kamu kok. Udah deh, aku banyak kerjaan."
"Kenapa ngomongnya begitu, sih?"
"Kamu sih panik banget. Aku yang punya tubuh, aku yang tau siklusnya, aku yang bisa ngerasain tanda-tandanya, kamu nggak usah bikin aku stres kayak begini. Kamu harus tau, kalau aku stres, bisa semakin malas si bulan datang."
Kudengar Harvey menghela napas panjang. Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya dia menghela napas lagi. "Terserah kamu, deh. Kamu yang paling tau gimana baiknya. Tapi, kalau bisa coba di tes ya, Prisa." Suaranya lembut banget seperti adonan donat.
Berkutat dengan pekerjaan membuat kepalaku sakit banget. Sejak pagi tadi aku belum sempat makan, hanya minum susu cokelat saat di perjalanan dan itu pun tidak habis karena aku merasa mual. Sepertinya asam lambungku naik deh.
Pendingin ruangan sudah kumatikan, tapi entah kenapa aku masih saja merasa kedinginan. Padahal, sekarang pukul tiga sore yang mana matahari masih terpampang nyata. Sepertinya aku akan jatuh sakit sebentar lagi.
Aku izin pulang satu jam lebih awal dari seharusnya karena sudah merasa tidak enak badan. Akan tetapi saat di perjalanan, suara Harvey terus berputar di telingaku perihal alat tes kehamilan. Sampai akhirnya, aku menepi sebentar di sebuah mini market untuk membeli obat sakit kepala, roti dan susu untuk mengganjal perut, serta alat tes kehamilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
Literatura Feminina"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...