"Hai," sapa Harvey tepat saat aku membuka mata.
Dia sudah duduk di kursi kerja dengan asap mengepul di sekitarnya. Rambutnya sudah basah, dan aroma sabun antiseptik memenuhi ruangan kecil ini.
"Jam berapa sekarang?" tanyaku sembari mengusap mata dan meregangkan otot setelahnya.
"Sepuluh."
"Kamu udah mandi?"
"Udah dong," sahutnya dengan bangga sembari memperlihatkan barisan giginya. "Aku udah beli sarapan."
"Sarapan apa?" Aku menoleh ke arah meja kecil di dekat sofanya. Ada satu kantung makanan cepat saji di sana.
"Nasi uduk," katanya sambil berjalan, kemudian membuka kantung makanan cepat saji tersebut. "Ada ayam, bubur ayam, dan—"
"Kok banyak banget, sih?"
"Memangnya kamu nggak lapar? Semalam tenaganya udah terkuras habis, 'kan?"
Ya ampun! Apa wajahku sekarang memerah? Tolong katakan tidak!
"Gosok gigi dulu, gih!" Harvey menelengkan kepalanya ke arah pintu kamar mandi.
"Aku mandi langsung deh, habis sarapan aku pulang." Harvey tidak mengatakan apa pun sampai aku masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Entah berapa lama aku di dalam kamar mandi, tubuhku benar-benar nyaman ketika tersentuh oleh air hangat dari pancuran. Bahkan, aku nyari tertidur di bawah pancuran, saking nyamannya.
Keluar dari kamar mandi, Harvey menoleh dan menatapku sebentar sebelum dia sibuk menatap layar ponselnya. Dia sedang bermain game online seperti biasanya. Selagi dia sibuk, cepat-cepat aku berpakaian—memakai kausnya yang semalam yang masih bersih karena aku tidak berkeringat atau pun meneteskan liur saat tidur.
Tiba-tiba saja tangannya melingkar di pinggangku, Harvey memelukku dari belakang, aku memejamkan mata sewaktu bibirnya mengecup ceruk leherku.
"Ayo sarapan!" ucapku setelah berbalik dan menempatkan kedua tanganku di bahunya. Dia tersenyum dan menatapku lekat-lekat, membuat jantungku berdetak cepat seperti habis berlari.
Sewaktu aku hendak melangkahkan kakiku menuju sofa, Harvey menahanku. Dia merengkuh tubuhku dan memelukku erat-erat. "Aku mau sarapan yang lain," katanya dengan seringai cabul.
"Sarapan apa?"
"Kamu."
"Harv!" kekehku sambil memukul dadanya pelan. Dia tidak bergeming, hanya terus menatapku sampai membuatku salah tingkah sendiri. "Aku lapar, nih. Ayo sarapan!" Aku merengek dan menariknya untuk ikut bersamaku ke sofa.
Tidak ada helaan napas maupun raut wajah kecewa. Dia menurut saja duduk bersamaku di sofa, menyantap menu sarapan yang sudah dibelinya tanpa bertanya apa yang kuinginkan. Untung saja, aku suka dengan menu pilihannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...