"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi."
.
.
.
Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setiap hari, selama hampir dua minggu, Harvey jadi rajin menelepon. Biasanya dia hanya mengabari 1 kali dalam sehari, bahkan kadang kami hanya berkomunikasi 5 kali dalam seminggu.
Itupun biasanya hanya chat paling banyak 4-5 bubble, atau telepon paling lama 4 menit.
Berbeda kali ini, dalam sehari dia bisa meneleponku 4 kali sampai 10 menit lebih, hanya untuk menanyakan kondisiku. Senang sih, diperhatikan, tapi di sisi lain aku benar-benar merasa lemah diperlakukan seperti ini. Seolah aku ini anak kecil yang tidak berdaya dan butuh diingatkan makan setiap saat.
Dengan sikapnya yang begitu, dia jadi membuatku yang awalnya cuek, jadi terbiasa melaporkan kondisi. Dia juga tidak keberatan saat mendengarku mengeluh. Pokoknya, Harvey berubah banget lah belakangan ini.
Sampai tiba hari di mana kami bertengkar.
Hari itu, hari Jumat. Hari di mana Jakarta sangat macet dan membuat stres. Sejak masih di kantor, Harvey memintaku untuk memutuskan dokter mana yang akan kami temui besok.
Ya, besok.
Kami sudah sempat membuat rencana untuk berkonsultasi dengan dokter lain di hari Sabtu. Tapi, dokter yang kumau ternyata jumlah pasiennya terbatas dan sudah penuh. Kalau mau konsultasi harus membuat janji seminggu sebelumnya. Memang menurut review, beliau Dokter Spesialis Kandungan terbaik di Jakarta sih.
Selain itu, aku juga sempat mempertimbangkan biayanya. Dokter dengan jam terbang tinggi seperti itu pasti biaya konsultasinya tidak main-main. Yang standar aja membuatku geleng kepala, bagaimana yang terbaik se-Jakarta?
Walau sedikit lega karena pasien dokter itu terbatas, tapi jadinya pusing juga, karena terus diteror Harvey untuk mencari opsi lain.
Malam harinya kami bertengkar di telepon. Saat kutanya, "Gimana ya, menurutmu? Dokter yang kumau harus buat janji satu minggu sebelumnya. Selain itu, mahal juga pasti. Kalau opsi lain, aku takut salah lagi dan ketemu dokter kayak Dokter Clara yang... begitu."
Dengan penuh emosi, Harvey berteriak, "5 jam cuma diskusi soal dokter nggak ada ujungnya! Aku tuh capek pulang kerja, masih harus disuruh mikir. Kamu lah pikir! Kan kamu yang sakit! Kamu yang perlu berobat! Kenapa aku juga yang harus mikir?"
Kaget? Tentu saja. Siapa sih yang tidak kaget di-gas begitu?
Aku cuma menarik napas dalam sambil memejamkan mata. Kuremas ponselku sampai tangaku terasa sakit. Aku yakin, kalau sampai kulawan dia, atau mengucap satu kalimat saja, kupastikan malam kami bakalan perang hebat.
Aku coba untuk menjernihkan pikiranku sendiri, menenangkan diriku sendiri dan sebisa mungkin untuk tidak meledak terpancing emosi.
Memangnya cuma dia yang capek baru pulang kerja? Memangnya cuma dia yang terjebak macet di Jakarta? Dia cuma duduk di dalam bus antar jemput lho, sedangkan aku harus menyetir sendirian, menghadapi kemacetan Jakarta yang luar biasa sejauh 25km pulang-pergi dari rumah ke kantor dan kembali lagi ke rumah.