43|| Hadiah Natal

99 18 0
                                    

"Selamat Natal," ucapku saat tiba di indekos.

Dengan senyum cerah, Harvey menyambutku di depan pintu kamarnya.

Dia harum, rambut di sekitar wajahnya sudah dicukur, terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Usia yang dia korupsi sebanyak 9 tahun.

Sumpah, aku masih belum bisa memaafkannya untuk itu.

"Makasih." Dia meneliti paper bag berisi sebuah hampers natal yang kuberikan padanya. "Repot-repot deh, apa ini?"

"Gado-gado."

Harvey mendengkus ketika mendengar jawabanku yang asal. Pasalnya dia bisa melihat jelas apa yang kubawakan untuknya, kenapa harus dipertanyakan lagi? Memangnya, ada gado-gado di dalam toples, berbentuk pipih, warnanya cokelat kehitaman, dengan taburan butiran cokelat kecil di atasnya?

Jelas-jelas aku membawakannya hampers cookies cokelat.

"Harusnya kamu simpan aja uangmu, dari pada beli hampers begini. Pasti mahal ya?"

"Sama-sama."

Harvey menghela napas panjang. "Makasih ya hampers nya. Perlu aku share ke instagram nggak?"

"Boleh, kalau kamu nggak takut cabangmu bubar. Jangan lupa tag aku." Aku melenggang masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci kaki dan tanganku.

Sempat kulihat Harvey memutar matanya sebelum dia duduk di sofa dan membuka toples cookies cokelat. "Banyak banget, Pris," ujarnya saat aku keluar dari kamar mandi.

"Selama kamu WFH (work from home), itu bisa jadi camilan sekiranya untuk dua atau tiga hari." Aku mengambil tempat di sampingnya.

Harvey menoleh dan menawarkanku untuk mencoba cookies cokelat itu. Kugelengkan kepalaku, lalu dia memaksa menyuapi. Aku tetap menggelengkan kepala, menolaknya dengan tegas.

"Ini sih bisa untuk dua minggu," guraunya sambil mengunyah. "Enak."

"Kalau enak, berarti bisa habis dalam waktu 2 hari."

"Kecuali kamu senang kalau aku terkena diabetes." Dia menutup toplesnya. Lalu meletakan toples-toples cookies cokelat itu di dalam kulkasnya. "Mau minum apa?"

Aku melongok ke dalam kulkas. Tidak ada pilihan minuman selain mineral dan kopi kemasannya yang kemungkinan sudah dibelinya sejak kemarin.

"Kayak biasa aja, Harv."

"Gold rum? Aku nggak punya."

"Mineral nggak dingin." Dia terkekeh sambil menuangkan mineral ke dalam gelas yang sudah dia berikan padaku untuk dipegang. "Makasih."

Rencana kami hari ini adalah menonton Spider-man No Way Home. Walau aku dan Harvey dari generasi yang berbeda, tapi selera film kami masih sama.

Dari sekian bulan berlalu, ini pertama kalinya aku dan Harvey pergi ke mal untuk nonton film. Biasanya kami lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar.

Karena mal terdekat dari indekos hanya sekitar 500 meter. Aku mengusulkan untuk berjalan kaki. Awalnya Harvey menolak dan memilih untuk memesan taksi online.

Kuyakinkan dia untuk tetap berjalan kaki saja. Dengan alih-alih mengajaknya bergerak sedikit lebih banyak dari biasanya. Karena dia bukan tipe laki-laki yang gemar olahraga, mengingat usianya yang tidak lagi muda.

Akhirnya Harvey mengalah. Kami berjalan kaki dari indekos sampai mal terdekat.

Di sepanjang jalan, dia terus bertanya, "capek, kan?"

"Enggak. Aku udah biasa jalan kaki."

"Tapi nggak pernah sejauh ini dong?" Napasnya terengah-engah. Jelas banget kalau dia benar-benar tidak pernah berolahraga.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang