72 || Acara Pertunangan

80 20 0
                                    

Apa ini masuk kategori perselingkuhan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa ini masuk kategori perselingkuhan?

Aku makan siang sama Dimas, bisa disebut selingkuh? Tapi, aku baru mengenalnya karena dijebak keluargaku sendiri, kok. Aku tidak mungkin selingkuh dari Harvey, tidak akan pernah. Kecuali dia yang memulai duluan.

"Gimana Dimas? Baik kan, orangnya?" tanya ibu yang begitu antusias setelah laki-laki itu pamit pulang.

"Baik itu relaif, Bu. Semua orang juga bisa baik kalau ada maunya. Tukang bihun gulung langgananku juga baik, kadang ngasih aku bonus sampai lima tusuk." Aku menanggapinya dengan santai sambil menggosok wajah pakai handuk setelah mencucinya.

"Jabatannya di atas Kak Adri, lho." Kali ini kakak iparku ikut nimbrung.

Sama sekali tidak peduli. Sekalipun dia yang punya perusahaan di tempat kakakku bekerja, laki-laki itu tidak membuatku tertarik sedikit pun.

Aku lebih tertarik pada laki-laki yang suka mendesain ruangan. Laki-laki yang tidak suka membual apalagi mencalonkan diri untuk terjun ke dunia politik.

Impianku bukan jadi ibu pejabat, kok.

Cukup jadi ibu rumah tangga yang dicintai suami dan punya anak lucu yang pintar-pintar.

"Terus kenapa?"

"Ya... nggak kenapa-kenapa sih, info aja. Dia udah mapan. Udah punya rumah sendiri, punya kendaraan sendiri. Pokoknya udah settle lah."

"Kamu mau aja sama dia." Ini ibu lho yang bicara. I-b-u-ku.

Aku rebahan di samping Mocca. Dia bergeser merapat ke bagian ujung tempat tidur. Sombong banget dia kayak jijik gitu berdekatan denganku.

"Aku nggak suka sama dia."

"Apa yang bikin kamu nggak suka? Anak itu cakep lho. Manis senyumnya. Bagus tutur katanya. Sopan banget. Dan yang jelas seiman."

"Bu."

"Pris. Umurmu udah 28. Mau sampai kapan kamu sendiri? Mau nikah di umur berapa?"

"Waktu aku dilahirkan, ada catatan waktu dan tempatnya?" Ibu mengangguk. Kakak iparku memperhatikan dengan serius sambil menimang anaknya. "Ada catatan waktu kapan aku menikah dan meninggal?"

Ibu terlihat tidak siap dengan pertanyaanku yang terakhir. Mereka berdua cuma diam dan saling tatap.

"Jodoh itu kayak kematian, Bu, Kak. Nggak ada yang tau. Nggak dipatok pakai umur." Jujur hatiku sakit bicara begitu.

Aku sebenarnya juga memikirkan soal umur. Aku sering mendengar berapa banyak dan besarnya risiko memiliki anak saat usia ibu tak lagi muda.

Sekalipun beberapa tahun belakangan ini aku mulai tidak menyukai anak kecil. Tapi bukan berarti aku tidak pengin punya anak kok. Walau melahirkan membuatku takut mati, tapi aku harus dan pasti akan mengalaminya.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang