78 || Ketakutan

61 21 6
                                    

Niatku untuk berbohong, lenyap sudah saat berpandangan dengan Harvey seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Niatku untuk berbohong, lenyap sudah saat berpandangan dengan Harvey seperti ini.

Laki-laki yang kaku dan luar biasa menyebalkan, kini menunjukkan sisi lainnya. Sisi lembut dan perhatiannya yang membuat hatiku seperti tanah basah yang mudah longsor.

Mana tega kalau aku harus berbohong padanya setelah semua kebaikan yang dia telah lakukan padaku?

Lagi pula, Harvey juga sangat peka. Secara usia dan pengalaman, dia terbilang senior. Pasti dia bisa tahu kalau aku berbohong.

Yang dikatakan Harvey memang benar. Aku tidak baik-baik saja.

"Tadi dokter nyuruh aku test pack."

Kedua alisnya terangkat. Mulutnya terbuka sedikit tapi tidak mengeluarkan suara apapun. Dia menggigit bibirnya, lalu mengembuskan napas

Kalau dilihat-lihat, wajahnya pun mendadak pucat redup. Apa lagi yang dipikirkan laki-laki ini?

"Aku nggak hamil, kok," kataku cepat sebelum dia mati ketakutan. "Maksudnya, aku yakin nggak hamil. Dokternya cuma mau mastiin aja, mungkin salah satu prosedurnya begitu." Aku mengangkat bahu. Aku bahkan tidak mengerti apa yang kuucapkan.

"Terus? Hasilnya kapan keluar?"

"Satu jam paling lama." Kuusap wajahku dan kutekan kedua pelipisku pakai jari telunjuk dengan gerakan memutar. Sakit banget kepalaku tiba-tiba.

"Dokternya bilang apa aja? Kalau hasilnya udah keluar, mesti ngapain lagi? Terus, kram perutmu itu apa katanya?"

Kuembuskan napas lalu bersandar pada sandaran kursi dan memejamkan mata sebentar. Mengumpulkan energi untuk menceritakan semua yang dikatakan oleh dokter tadi padaku.

Harvey menyimak tanpa menyela selama aku menceritakan apa saja yang terjadi di dalam ruangan dokter umum tadi.

"Kalau hasilnya udah keluar, langsung urus administrasi aja. Nggak perlu ke obgyn. Buang-buang uang. Minum obat anti nyeri aja nanti juga hilang." Aku menyesap kopi yang terasa lebih pahit dari biasanya. Sepertinya Harvey lupa minta tambahan caramel syrup.

"Jangan! Kamu nggak bisa minum obat sembarangan. Ikutin aja apa yang disarankan dokter. Urusan biaya nggak jadi masalah. Yang penting kesehatanmu, Pris. Aku nggak tega lihat kamu kesakitan kayak kemarin."

Aku sampai mencubit tanganku sendiri. Mungkin juga perlu membenturkan kepalaku ke meja untuk memastikan ini bukan mimpi.

Setelah aku dibenci setiap kali sakit oleh Arlo sampai harus menyembunyikan sakitku, dan disumpahi mati oleh Radit saat terkena demam tifoid. Harvey justru memikirkan soal kesehatanku.

"Aku payah banget. Aku ketakutan, Harv."

"Aku temani kamu."

Eh? Kalau dia menemaniku bertemu dokter spesialis kandungan lalu dokter itu menanyakan hubungan kami, harus kujawab apa?

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang