Mungkin jika orang lain tahu, keluargaku akan disebut rasis. Memang tidak salah.
Setiap keluarga pasti punya aturannya masing-masing, tak terkecuali keluarga besarku.
Mendiang kakek pernah berpesan pada anak, cucu dan cicitnya. Suatu hari nanti, jangan menikah dengan abdi negara, pilot, dan orang dari seberang pulau jawa.
Mendiang kakek punya penjelasan sendiri pada kami para penerusnya. Dan setelah kupikir, maksud mendiang kakekku memang baik dan tidak ada salahnya. Aku pun setuju untuk melaksanakan pesannya.
Jadi, sepertinya wajar kalau reaksi keluarga besarku kurang enak saat mendengar jawabanku yang cukup frontal tadi.
Aku tidak mau ambil pusing, karena itu hanya jawaban spontan. Harvey bukan pacarku, jadinya tidak ada masalah dengan keluarga ini.
Setelah buka puasa dan salat magrib berjama'ah, aku kembali diwawancarai. Kali ini oleh Bude Kristin, Bude Nana, Om Ari dan Ibu. "Pacarmu beneran orang batak non muslim?"
"Ya ampun, kenapa masih dibahas, sih?" Aku mengusap wajah.
"Harus dibahas, Dek!" ucap ibu tegas.
Kelihatannya ini sungguh serius.
"Kalau hubungan kalian belum terlalu jauh, sebaiknya disudahi aja, Pris." Bude Nana mengusap pipiku. "Bukan maksud Bude Nana mau mengatur hidupmu, tapi ... kamu tau sendiri seperti apa jadinya kalau menikah dengan non muslim, Nak."
"Suami Bude contohnya. Pakde mu itu masuk islam karena mau menikah sama Bude, Pris. Setelah menikah, dia nggak menjalankan apapun sampai akhirnya sekarang sakit-sakitan dan minta mayatnya dibakar kalau meninggal nanti." Bude Kristin memutar matanya. Dia kelihatan jengkel.
"Inget saudaranya ayah yang di Bali?" tanya Ibu.
"Om Wayan?"
"Iya. Om Wayan itu muslim, tapi pindah agama saat menikahi Tante Putu. Lalu Om Wayan meninggal dan Tante Putu sekarang justru masuk islam. Gimana tuh? Keluarga kita nggak siap dengan yang seperti itu, Pris. Belum ada yang berhasil."
"Contoh lainnya, Abela. Anak Om Ari sekarang nggak jelas apa agamanya. Saat menikah, Tante Triana itu seorang muslim. Tapi setelah bercerai dan membawa Abela, Tante Triana masuk Katolik dan Abela ikut karena Tante Triana menikah dengan laki-laki Katolik. Setelah beberapa tahun, merek cerai dan Tante Triana ajak Abela pindah agama lagi, sampai dua atau tiga kali, Om Ari lupa. Kasihan Abela, nggak jelas apa agamanya sekarang. Andai hak asuh jatuh ke Om Ari, mungkin nggak begitu jadinya."
Memang benar. Untuk soal agama seperti ini akan sangat sensitif bagi siapa pun dan di mana pun. Tapi, ini lah yang sungguh terjadi di keluargaku. Aku pun tidak berpikir sampai sejauh ini saat menjawab pertanyaan Bude Kristin tadi.
Jadi panjang deh masalahnya. Bukannya selamat, malah kiamat.
"Kamu pikir-pikir lagi deh, Dek." Raut wajah ibu terlihat kecewa dan sedih untuk alasan yang dikantonginya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
BATAS
ChickLit"Ini bukan hanya tentang aku dan dia. Tapi tentang apa yang dia yakini dan apa yang aku takuti. Tentang batas yang tidak mungkin kami langkahi." . . . Sebagai perempuan Indonesia yang sudah memasuki fase quarter life crisis, tuntutan menikah sudah s...