58|| Masalah Ponsel

93 17 0
                                    

Sejak menunggu azan magrib, sampai hampir masuk waktu isya, hatiku rasanya tidak tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sejak menunggu azan magrib, sampai hampir masuk waktu isya, hatiku rasanya tidak tenang. Gelisah, tegang, takut, bahkan sampai keringat dingin.

"Mana temanmu? Jadi datang nggak, sih?" tanya ibu sambil menyuapi Zain.

Kak Adri melihat ke arahku, lalu dia berpaling ke ponselnya. "Kayaknya nggak jadi deh."

"Yeay!" teriakku girang dengan alih-alih mengajak bercanda dengan Mocca yang sebenarnya kucing itu hamir tertidur namun gagal karena suara teriakkanku.

Doaku dikabulin dong, senang banget!

Kuciumi Mocca karena girang luar biasa.

"Haha. Lihat mukanya Oka deh, Nte!" Zain cekikikan. "Lucu banget! Sepertinya dia tertekan."

"Dia emang gitu, Z. Sok jutek, padahal suka diginiin. Iya, kan, Mo?" Mocca mengibaskan ekornya.

Setengah jam kemudian, kakakku dan keluarga kecilnya pulang.

Aku mencuci piring kotor yang ... astaga! Manusia yang makan cuma 6, tapi tumpukan piring di wastafel sampai setinggi harapan ayah agar aku menyudahi hubungan dengan Harvey.

"Senang ya, kamu?" ibu membantuku memasukkan piring bersih ke dalam rak piring.

"Senang apa?"

"Senang temannya kakakmu nggak jadi datang."

"Iya lah! Lagian, aku tuh nggak suka dikenalin begitu, Bu."

"Nggak ada salahnya, Pris. Cuma kenalan aja kok, bisa jadi teman."

"Iya, sih. Tapi aku nggak terbiasa. Jangan lagi, ya. Sekali ini aja cukup."

"Kalau itu sih, tergantung gimana ayah dan kakakmu. Ibu nggak bisa melawan mereka."

Kumatikan kran air.

Dengan kondisi tangan yang masih dipenuhi busa sabun, aku menoleh dan mengangkat tanganku. "Bahkan untuk membelaku?"

Ibu cuma mengangkat bahu. "Kita semua cuma pengin yang terbaik buat kamu."

"Tapi yang terbaik menurut kalian, belum tentu baik untuk Pris, Bu. Ya ampun." Kunyalakan lagi kran air, dan kulanjutkan mencuci piring dengan perasaan kesal luar biasa.

Kupikir, kegagalan hari ini membuat orangtuaku menyerah untuk melanjutkan ide perkenalan, perjodohan, atau apa lah itu.

Aku harus mencari cara untuk menggagalkan, kalau sampai ada rencana perkenalan lagi nantinya.

Selesai sudah mencuci piring. Kotoran Mocca juga sudah kubersihkan. Sudah kuberi juga makhluk itu makanan sehat lengkap dengan vitaminnya.

Akhirnya aku bisa berbaring dengan tenang.

Mataku baru hendak terpejam. Suara dering telepon membuatku berpaling pada benda pipih yang berada di bawah perut Mocca.

"Geser dikit, Mbak." Kucing itu diam saja. Kelihatannya dia ngantuk banget. Kayak lelah gitu setelah seharian menjamu tamu. "Mo, geser dikit, ih! Gendut! Awas!" Kugulingkan Mocca, dia langsung menatapku tajam dan lompat ke bawah.

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang