17 || Batas

194 32 2
                                    

Setelah beberapa kali merencanakan pertemuan dan berakhir wacana, akhirnya sore ini aku, Arindi, Aksa dan Rifa dapat bertemu disela-sela kesibukan masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah beberapa kali merencanakan pertemuan dan berakhir wacana, akhirnya sore ini aku, Arindi, Aksa dan Rifa dapat bertemu disela-sela kesibukan masing-masing.

Salah satu kedai kopi milik salah satu artis Ibu Kota menjadi titik temu kami berempat. Aku dan Aksa tiba lebih dulu, karena kebetulan rumah kami berdekatan dan bisa berangkat bersama. Disusul oleh Arindi yang sejak tiba, sudah sibuk dengan laptopnya. Tak lama kemudian, Rifa pun datang dengan penampilan baru yang mengenakan hijab.

Dulu, kami berempat sering sekali bertemu. Tapi, sejak kuliah ... waktu untuk berkumpul perlahan berkurang. Sampai memasuki masa bekerja, untuk mengatur waktu bertemu berempat susah banget. Pasti ada saja salah satu dari kami yang tidak dapat ikut berkumpul, terkadang akua tau Rifa.

"Tuh kan, masih aja dia sibuk sama kerjaan," ujar Rifa sewaktu dia tiba dan melihat Arindi sibuk dengan laporan pekerjaannya di laptop.

"Sebentar guys, sebentar ya ... dikit lagi, kok," jawab Arindi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

Sembari menunggu Arindi selesai mengerjakan laporan pekerjaannya, aku dan kedua sahabatku yang lainnya menikmati minuman masing-masing sambil menceritakan masalah pekerjaan. Setelah setengah jam, Rifa akhirnya memutus obrolan kami. "Udah dong, jangan bahas kerjaan. Emangnya nggak bosan?"

Aksa tertawa renyah. "Kan, kamu duluan yang mulai, Rif." Rifa pun mencengir lebar sembari menggaruk tengkuknya. "Udah, Ndi. Ngobrol dulu lah, kerjanya besok lagi dilanjutin."

Arindi mengangguk, lalu dia menutup laptopnya. "Kalau Aksa yang ngomong, langsung didengar tuh," bisik Rifa padaku.

Perlu diketahui, Arindi dan Aksa terjebak friendzone selama belasan tahun, Arindi yang lebih dulu suka dengan Aksa, selama bertahun-tahun dia menyimpan perasaannya untuk laki-laki itu. Aku yakin, tidak mungkin kalau Aksa tidak mengetahui perasaan Arindi. Perilaku Arindi ke Aksa terlihat jelas berbeda. Dia selalu menuruti apa pun yang dikatakan oleh Aksa, sekali pun dia tidak suka. Hanya laki-laki bodoh yang tidak dapat melihat semua itu.

Selama masa PPKM, restoran dan kedai-kedai kopi tutup lebih awal. Tapi, pertemuan kami berempat ini jarang terjadi, kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Akhirnya, dengan ide spontan Arindi, kami berempat pergi ke suatu tempat.

Selama aku hidup dua puluh tujuh tahun, aku tidak pernah tahu seperti apa yang disebut 'Nasi Goreng Gila'. Pada malam ini, karena ketiga sahabatku ... akhirnya aku tahu seperti apa nasi goreng itu.

"Itu ... dicampur-campur begitu, Ndi?" tanyaku pada Arindi saat sedang antre di depan gerobak nasi goreng di pinggir jalan.

Aku terheran-heran, kenapa bisa nasi goreng ini sampai viral dan memiliki banyak penggemar seperti ini? Jika dilihat-lihat, nampaknya sama saja dengan nasi goreng pada umumnya, hanya saja ... orang-orang yang antre sangat berbeda dari kebanyakan orang pada umumnya.

Anak-anak muda metropolitan yang memakai sepatu dan mobil mahal, rela antre panjang hanya untuk mendapatkan nasi goreng gila ini? Benar-benar gila.

Empat porsi nasi goreng gila pesanan Arindi sudah jadi. Kami berdua kembali ke mobil, karena rencananya kami akan menyantap nasi goreng ini di pinggiran taman kota. Ide siapa lagi kalau bukan Arindi?

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang