81 || Serba Kebetulan

80 18 3
                                    

Di perjalanan pulang ke Indekos perutku kram lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di perjalanan pulang ke Indekos perutku kram lagi. Tapi aku berusaha untuk tidak mengeluh. Aku mencoba untuk mengalihkan rasa sakitku dengan melihat jalan.

Malam ini gerimis halus. Jalan raya yang sudah mulai lenggang jadi mirip arena balap. Pengendara motor ngebut takut kehujanan, tapi tidak takut kecelakaan.

Ada sepasang suami istri berteduh di depan toko yang sudah tutup. Istrinya menggendong balita yang tidur. Suaminya memakaikan mereka jas ujan. Kasihan mereka harus hujan-hujanan begitu.

Tapi melihat pasangan suami istri itu, mereka terlihat bahagia. Suaminya tertawa saat istrinya memainkan tangan anak mereka di bawa tetesan air hujan. Bahagia memang sesederhana itu....

Air mataku jatuh ke tangan. Waktu sadar, aku langsung buru-buru mengusap wajahku yang basah.

"Akhirnya hujan juga." Suara driver taksi online memecah keheningan. Atau mungkin dia melihatku meneteskan air mata tadi. "Lumayan deh jalanan basah sedikit, Jakarta jadi adem."

"Iya. Harusnya bulan ini udah masuk musim hujan ya," komentar Harvey. "Asli Jakarta, Bro?"

"Flores, Bang." Driver yang kelihatannya masih muda itu mencengir ke arah spion tengah. "Udah pernah ke Flores, Bang? Kak?"

"Belum," jawabku bersamaan dengan Harvey. Dia tersenyum lalu mengusap kepalaku. "Pengin ke Labuan Bajo sih, tapi belum kesampaian," tambah Harvey.

"Main-main lah, Bang. Pasti kalau udah ke sana, nggak mau balik ke Jakarta buru-buru." Driver itu tertawa ringan.

"Pengin banget kalau ada waktunya."

Baru kali ini Harvey kelihatan nyaman diajak ngobrol driver taksi online. Biasanya dia bakal jawab seadanya lalu menggerutu, pas turun bakal mengeluh "sok akrab banget sih."

"Di Jakarta udah lama? Udah biasa lewat sini?" tanyaku. Aku selalu tertarik dengan cerita orang daerah yang merantau di Jakarta.

"Udah 3 tahun, Kak. Saya tinggal di daerah Selatan. Kakak sama Abang asli Jakarta?"

"Saya, asli Jakarta. Kalau dia, enggak." Mendengar jawabanku, driver itu kelihatan antusias.

"Aslinya mana, Bang?"

"Batam," jawab Harvey pakai logat yang hampir tidak pernah kudengar. "Di Jakarta sama keluarga atau sendiri?"

"Oalah, orang Sumatera ya Abang?" Driver itu mengangguk dan tersenyum sumringah. "Berdua aja sama Istri. Istri Saya lagi hamil, semoga nggak ada kendala ... bulan depan lahiran."

Aku menghela napas panjang.

Harvey menelan ludah. Aku melihat jakunnya bergerak sebelum berpaling lagi ke jalan. Menyandarkan kepalaku di kaca jendela yang dingin.

"Semoga lancar ya."

"Amin. Terima kasih, Bang. Maaf, Abang sama Kakaknya udah menikah?"

Kupejamkan mata. Berharap ada earpod yang menyumpal telingaku supaya tidak perlu mendengar jawaban Harvey yang membuatku pengin membenturkan kepala ke pintu mobil.

"Belum," kekeh Harvey.

Kenapa dia harus terkekeh begitu? Dia grogi? Atau merasa tidak enak hati denganku?

"Tapi sudah ada rencana kah, Bang?"

Harvey menarik tanganku, dia menarikku supaya mendekat. Mungkin dia minta diselamatkan. Atau itu salah satu bentuk usahanya mencari kesibukkan supaya tidak perlu menjawab pertanyaan yang tidak bisa dia jawab.

"Semoga Tuhan kasih jalan ya, Bang. Supaya niat baiknya dilancarkan." putus driver itu setelah menunggu lama jawaban yang tidak juga keluar dari mulut Hatvey maupun mulutku.

"Amin," sahut Harvey sambil mengusap kepalaku yang disandarkan ke bahunya. "Amin." Dia mengulangnya dengan suara yang lebih pelan, lalu tersenyum padaku.

Serba kebetulan hari ini membuatku bad mood. Aku cuma pengin cepat sampai di indekos dan tidur. Melupakan rasa sakit, diagnosa dokter, pasangan suami istri yang berteduh bersama anak balitanya, serta obrolan Harvey dengan driver taksi online soal menikah.

Kulepaskan diri dari Harvey. Bergeser ke pinggir untuk bersandar lagi ke pintu. Ini jauh lebih baik.

Kebetulan lainnya. Lagu Teman Hidup-Tulus berputar di radio dan menemani perjalanan sampai mobil berhenti di depan gerbang Indekos, baru lah Tulus selesai bernyanyi.

Lengkap sudah siksaan batinku hari ini.

"Kamu masuk duluan." Harvey memberikan kunci kamarnya. "Aku mau ngasih makan anak-anak."

Anak-anak? Dia hampir tidak pernah menyebut kucing-kucing di Indekos ini dengan sebutan 'anak-anak'.

Aaaargh!

Sayangnya tidak ada bath up di kamar mandi. Padahal aku pengin berendam sampai tenggelam kayak Savanna di novel Savanna saat dia mengandung anak dari laki-laki lain saat sudah memiliki pacar.

Bedanya, aku pengin berendam sampai tenggelam karena menurut Dokter Clara, aku bakal kesulitan punya anak.

"Pris?" Suara ketukan di pintu mengembalikanku ke dunia. Aku sempat lupa bernapas di bawah shower. Bokongku rasanya dingin banget duduk di lantai. "Pris—astaga! Kamu kenapa?"

Harvey masuk ke dalam kamar mandi dan langsung memutar kran shower. Dia mengambil handuk dari gantungan lalu memelukku setelah membungkusku dengan handuk.

Aku menggigil dan sesenggukkan dalam pelukan. Harvey menggendongku keluar dari kamar mandi. Dia mendudukanku di sofa dan memelukku lagi sambil mengusap tubuhku setelah mematikan AC.

"Kamu ngapain kayak begitu, sih?" Nadanya marah tapi terdengar lebih banyak khawatir dalam suaranya.

"Kenapa kamu masih baik sama aku, Harv?"

"Kamu nanya apa, sih?! Minum dulu." Setelah memberikan segelas air, dia membuka lemari dan mengambil kaus sekenanya dari tumpukan yang seketika langsung ambyar ke lantai.

Dipakaikannya kaus putih kebesaran miliknya ke tubuhku. Lumayan hangat. Rasanya seperti memakai daster.

"Jangan mikir yang aneh-aneh, Pris. Jangan overthinking. Nggak usah telan bulat-bulat omongan Dokter Clara. Kamu pasti sembuh kok. Dia pasti salah diagnosa. Aku bakal cariin dokter lain buat kamu yang lebih bagus. Aku janji."

Kupandangi wajahnya. Dia membelai pipiku. Aku pun melakukan yang sama. Kubelai wajahnya dengan kedua tanganku yang dingin dan keriput di bagian ujung jari.

"Kalau kamu mau pergi, pergi aja, Harv. Aku nggak apa-apa sendirian. Aku bisa urus diriku sendiri kok."

"Pris! Apaan, sih! Aku nggak suka kamu ngomong begitu." Dia memelukku lagi. Pelukannya lebih erat sehingga tangisku jadi lebih banyak dan sesenggukkan lagi. "Aku nggak bakal ke mana-mana, Prisa. Astaga! Apa yang kamu pikirin, sih? Aku nggak bakal pergi di saat kamu begini."

Kenapa? Dia punya alasan kuat untuk pergi kok. Dia tidak terikat denganku, dan mungkin tidak akan pernah terikat sampai kapanpun.

Ah, pasti dia bertahan karena kasihan sama aku.

boleh kasih komen dong supaya aku tau kalau kalian masih baca💃🏻

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


boleh kasih komen dong supaya aku tau kalau kalian masih baca💃🏻

BATASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang